Kinescope Magz Edisi 5

45
1 Desember 2013 l Kinescope l F i l m , S e n i & E d u k a s i FREE MAGAZINE - EDISI 5 - DESEMBER 2013 Kinescope

description

Kinescope Magz 5th Edition.. Enjoy...

Transcript of Kinescope Magz Edisi 5

Page 1: Kinescope Magz Edisi 5

1Desember 2013 l Kinescope l

F i l m , S e n i & E d u k a s i

free magazine - EdiSi 5 - dESEMbEr 2013Kinescope

Page 2: Kinescope Magz Edisi 5

2 3l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 3: Kinescope Magz Edisi 5

4 5l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Daftar isiCover Story

14

2018

24262832

424446

474852

58

54

82

80

10

profile

revieW

behinD the SCene

SeJArAh

Seni

DeStinAtion

Review Singkat 4 DaSawaRSaFilm inDoneSia

Slamet RahaRDjo

SoekaRnoSagaRmathaiSyaRatmake moneykilleR toonhoURS

3436

38

opini

feStivAl

oPiniFilm, kRitik Dan logika

DaRi memoaR ke layaR lebaR

tattoo Dan SUbkUltURkaUm URban

FeStival Film DokUmenteR 2013FeStival teateR jakaRta 2013

jogja-netPaC aSian Film FeStival (jaFF) 2013makaSSaR Film FeStival 2013SCienCe Film FeStival 2013jogja CinePhilia 2013

ComiC 8 Film COMIC 8 yg ber-genre ACTIONCOMEDY ini bercerita tentangdelapan anak muda dari berbagaimacam background dan kisahhidup masing-masing, yang secarakebetulan merampok sebuah bankdalam waktu bersamaan.

SejaRah FeStival Film inDoneSia:Merajut PertemuanPembuat Dan Penonton Film

tato Dayak kalimantanSeni merajah tubuh atau tato adalah bagian dari kebudayaan tradisional. Diantara daerah Nusantara yang terkenal dengan seni tatonya adalah suku Dayak di Kalimantan. Bagi budaya Dayak seni tato telah menjadi ciri khas dan identitas masyarakatnya. Berbicara tentang kebudayaan Dayak, kita tidak bisa melepaskannya dari alam, terutama hutan.

vogelS hoStelHangat dan Bersahabat

78

68

KoMUnitAS

MUSiC

gUDangFilmCinta Film LokalInternasional

kla PojeCt 25 Tahun KLa Project‘Mendentum’ Jakarta

6263

64

lipUtAnnonton baReng: Film aDRiananonton baReng: Film king oF RoCk CitymiSbaR kineFoRUm: Upaya Kreatif Ciptakan Ruang Alternatift Untuk Film Indonesia

66

Snowpiercer30

74henri bergson

Addie MS

Page 4: Kinescope Magz Edisi 5

6 7l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

f i l m , s e n i & e d u k a s i

Salam Redaksi

review Singkat 4 Dasawarsa film indonesia

“Menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa tayangan film yang beredar luas itu benar-benar memberikan edukasi yang baik namun tidak meninggalkan sisi hiburan (entertaining).”

PenaSehat RedakSiFarid GabanTino Saroengallo Andi Bachtiar Yusuf Wanda Hamidah Faisal Basri

PemimPin UmUmHasreiza

PemimPin RedakSiReiza Patters

RedaktUR Bentar KurniawanRian Samin

kontRibUtoRShandy GasellaWella SherlitaDaniel IrawanDaniel Rudi HaryantoPejred Rohman SulistionoNovita RiniThea Fathanah Arbar Suluh Pamuji

deSain GRafiS & tata Letakal Fian adha

aRtiStik & editoR fotoRizaldi Fakhruddin

fotoGRafeRHery Yohans

PenjUaLan & PemaSaRanOllivia Selagusta

CommUnity deveLoPmentJusuf Alin Lubis

diStRibUSi & SiRkULaSiFaisal Fadhly

SUbSCRiPtionSPusat Meditasi Satria Nusantara Jl. RS Fatmawati No. 110AJakarta selatanIndonesia

www.kinescopeindonesia.com

[email protected] [email protected] [email protected] [email protected] @KinescopeMagz

Perkembangan Film nasional, memang mengalami pasang surut. Dari masa kejayaan pada

tahun 70-80an hingga masa yang dianggap mati suri, tahun 90-2000an awal. Semua

insane perfilman nasional mengamini dan bersepakat tentang masa-masa itu. Namun

pertanyaannya, apa sebabnya? Mengapa kita diam saja?

Sebetulnya, anggapan bahwa tidak ada pergerakan apa-apa, itu merupakan kesalahan besar

dan kemalasan mencari tahu. Karena sebetulnya, sudah banyak inisiatif-inisiatif untuk berusaha

menyemarakkan perfilman nasional dan penyelamatan budaya kegemaran menonton. Namun,

dukungan dari pengambil kebijakan dan amplifikasi media, tidaklah cukup maksimal diberikan pada

inisiatif-inisiatif itu.

Yang menarik di tahun 2013 ini, semakin berjamurnya komunitas penonton dan penggemar

film, baik film lokal maupun internasional, festival-festival film yang semakin marak di berbagai

daerah, film-film nasional yang diproduksi dengan mempertaruhkan kualitas dan menambah

kuantitas, ini sedang berproses menuju era kebangkitannya. Dari sisi kualitas dan kuantitas, film-

film nasional yang diproduksi pada tahun 2013 ini, sudah mendekati apa yang pernah terjadi pada

masa kejayaan film nasional pada tahun 1970-1980an. Dan ini sebuah situasi yang cukup memberi

harapan sekaligus menggembirakan.

Uniknya, beberapa film nasional yang diproduksi dengan sangat serius, justru banyak yang

dirilis menjelang tutup tahun. Entah kenapa dan apa motifnya, fakta itu terjadi. Bagaimana film

“Sagarmatha” dan “Sokola Rimba” yang kualitasnya sangat baik, tidak mendapatkan publikasi yang

cukup karena tertutup oleh fenomena film “Soekarno” dengan segala konflik yang menyertainya. Ya,

karena rilis film-film tersebut pada waktu yang sangat berdekatan. Sedikit disayangkan, karena nilai

edukatif yang ada dalam film-film yang sebetulnya bagus, tidak terdistribusi merata, karena tertutup

oleh film yang lain. Positifnya, film-film nasional pada tahun 2013 ini bisa dibilang mengedepankan

kualitas, dan ini mencerahkan.

Kita berharap, semoga apa yang terjadi di tahun 2013 ini, bisa berlanjut terus di tahun 2014,

walaupun mungkin kejadian seperti fenomena tahun 2013 ini akan terjadi lagi, yaitu menumpuknya

film-film nasional yang berkualitas di penghujung tahun. Ya, karena perhelatan besar politik nasional

juga akan berlangsung di tahun 2014 ini. Semoga saja semangat memproduksi dan menonton film

nasional di tahun 2014 dan seterusnya akan bisa melebihi apa yang terjadi di tahun 2013 ini. Ya,

semoga.

Cover Story

Page 5: Kinescope Magz Edisi 5

8 9l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

film Schedule Desember 2013

Nusantara 1930. Dari tanah kelahirannya, Makasar, Zainud-din berlayar menuju tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Di sana ia bertemu Hayati. Kedua muda-mudi itu jatuh cinta. Tapi, adat menghalangi. Zainuddin hanya seorang melarat tak berbangsa, sementara Hayati perempuan Minang keturunan bangsawan.

Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz, laki-laki kaya berbangsa yang memang ingin menyuntingnya. Zainuddin memutuskan merantau ke tanah Jawa. Zainudin bekerja keras dan menjadi penulis terkenal.

Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati bersama Aziz, suaminya. Kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya dalam sebuah tragedi pelayaran kapal Van Der Wijck.

Ikal dan Arai berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Sorbone Paris. Kedatangan mereka di Eropa disambut cuaca din-gin. Mereka harus terlunta-lunta karena tidak diterima di tempat tinggal sementara, karena terlambat datang dan tidak member-itahu sebelumnya. Tubuh Ikal membeku. Arai berusaha untuk menyelamatkan dengan mengubur Ikal dalam tumpukan humus.

Menjalani hari-hari di Sorbone mereka duduk tepat diseb-elah Manooj, Gonjales dan Ninocchka. Mereka tergabung dalam Pathetic Four, kelompok paling terbelakang dan harus mengejar ketertinggalan. Mereka bekerja keras apa saja: menjadi pelayan hingga mengamen di jalanan, agar bisa mengirimi uang untuk orang tua mereka di Belitung. Ayah Ikal menyurati mereka dan berharap, anaknya bisa menjadi ahli pupuk dan apoteker. Ikal dan Arai terlanjur punya mimpi lain.

Sementara itu, Katya, mahasiswi di kampus sama, memilih Ikal jadi pacarnya. Ikal merasa bersalah. Ia merasa telah menodai per-asaannya pada Aling. Situasi itu membuat Ikal tidak lagi fokus bela-jar. Terbukti, nilai ujian tengah semester Ikal hancur. Pertentangan-nya dengan Arai membuat dua sahabat ini berbeda langkah.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Laskar Pelangi 2: Edensor

film indonesia Desember1. 99 Cahaya di Langit Eropa Tayang 5 Desember 2013

2. Soekarno Tayang 11 Desember 2013

3. Isyarat Tayang 12 Desember 2013

4. Mengejar Setan Tayang 19 Desember 2013

5. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Tayang 24 Desember 2013

6. Laskar Pelangi 2: Edensor Tayang 24 Desember 2013

7. Slank Nggak Ada Matinya Tayang 24 Desember 2013

Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar), pelajar SMA tingkat akhir, mengalami dilema: mengejar mimpinya menjadi pengajar bagi anak-anak

terlantar atau mengikuti keinginan ayahnya, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), untuk meneruskan pendidikan setinggi-tingginya. Bagas berharap Ricky akan mengikuti jejaknya menjadi politikus.

Bagas sedang berjuang menjadi presiden Indonesia periode 2014-2019 menggantikan Presiden Jusuf Syahrir (Deddy Sutomo). Kesibu-kannya membuat hubungannya dengan Ricky menjadi renggang. Ricky sama sekali tidak setuju dengan langkah ayahnya. Ningrum (Donna Harun), sebagai ibu dan istri yang setia, selalu berusaha menyatukan mereka.

Persaingan menuju kursi kepresidenan sangat ketat antara Bagas Notolegowo, Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) dan Syamsul Triadi (Akri Patrio). Bagas kurang waspada. Satu keputusan sederhananya membuat semua impiannya porak-poranda.

Kehancuran Bagas membangkitkan keingintahuan Ricky untuk menelusuri kasus tersebut. Upaya ini mempertemukan Ricky dengan Khrisna Dorojatun (Donny Damara), pengacara idealis. Selain itu Ricky juga mulai dekat dengan Laras (Maudy Ayundya), anak Khrisna Doro-jatun. Kasus ini mempertautkan hati Laras pada Ricky. Dari perjalanan yang mereka lalui, timbul kepercayaan Laras kepada Ricky, walaupun usia Ricky lebih muda.

Ricky dan Laras kerap kali merepotkan pihak kepolisian, terutama Iptu Astri (Atiqah Hasiholan), karena kecerobohan-kecerobohan mereka dalam penyelidikan. Kehidupan keduanya terancam. Ternyata ada pihak ketiga yang terlibat pada kasus ini. Khrisna memperkirakan bahwa pihak ketiga tersebut adalah kekuatan besar.

Pertanyaan Ricky pada Khrisna: “Jika Presiden, gak mau Papa jadi Presiden? Apa alasannya?” Atau memang benar Bagas bersalah, karena ambisinya dia mampu melakukan segala hal? Ada satu tokoh lagi: Satria (Rio Dewanto), pria muda yang selalu berada pada banyak tempat.

2014

ON PrOdUCTiONS

Anjani (Shirley Anggraini) kabur dari rumah setelah ia dituduh ter-libat dalam tindak asusila dengan teman laki-lakinya. Ia mengikuti

Anggalih (Tim Matindas), teman laki-laki dekatnya dari SMP yang sedang berjalan ke Seminari Katolik setelah liburan sekolah selesai.

Dalam perjalanannya, ayah Anjani yang berkuasa mengirim Ru-ben (Tio Pakusadewo), investigator berandal, untuk membawa Anjani pulang. Ruben membuntuti, membujuk dan memperdaya Anjani dengan cara iblis.

Toilet Blues adalah pertanyaan benar dan salah, surga dan neraka yang tidak selalu dimainkan untuk umum, seperti halnya grafiti serampangan yang ada di toilet umum yang dikunjungi Anjadi dalam perjalanannya dengan Anggalih.

Lima sahabat remaja: Natasha si pemberani, Diana si pesolek, Davina si lugu, Kathy si penyair gagal, dan Rhonda si waria sableng

berlibur ke sebuah vila terpencil di Puncak berdasarkan iklan internet. Mereka tidak tahu, bahwa di tempat itu sebelumnya pernah terjadi serentetan kematian misterius.

Sejak awal kedatangan, mereka disambut dengan sikap memusuhi dari para pembantu. Kathy berhasil mengetahui cerita legenda dari seorang pembantu yang diam-diam naksir padanya. “Sesuatu yang jahat“ akan muncul bila ada yang menyebutkan kalimat, “Let’s Play!“ sebanyak lima kali. Tidak percaya pada mitos ini, saat bermain Truth or Dare, para remaja menantang Rhonda untuk menyebut kalimat itu.

Sang hantu terusik dan ia mulai mengajak main seluruh penghuni yang datang, satu demi satu. Dan ia tidak ingin selesai bermain sampai semuanya menemui ajal.

toilet blues

let’s play, Ghost

Page 6: Kinescope Magz Edisi 5

10 11l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

COVEr STOrY

review Singkat 4 Dasawarsa film indonesia“Menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa tayangan film yang beredar luas itu benar-benar memberikan edukasi yang baik namun tidak meninggalkan sisi hiburan (entertaining).”

Reiza PatteRS

10 11l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 7: Kinescope Magz Edisi 5

12 13l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

COVEr STOrY

Produksi Film Indonesia mengalami pasang surut dari tahun ke tahun.

Namun begitu, sebetulnya Film Indonesia pernah mengalami puncak masa kejayaan, yaitu pada era tahun 1970-an. Kala itu film Indonesia menguasai pasar dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Produksi film Indonesia begitu besar, dengan pun-caknya pada tahun 1977, 367 buah film diproduksi dalam setahun. Hampir setiap film yang diproduksi, meledak dan selalu menguasai layar pertunjukan. Hampir semua genre film, mulai dari percintaan, silat, hingga komedi, semuanya diserbu penonton. Namun film percintaan nampak memimpin dengan bintang-bintang film kenamaan yang stereotype seperti Roy Martin, Robby Sugara, Yati Octavia, Yeny Rachman, dan Doris Cal-lebaut yang ketika itu dikenal sebagai the Big Five. Kejayaan film percintaan ketika itu dit-ingkah oleh film musikal Rhoma Irama yang setiap kemunculannya selalu mencengang-kan penonton dan masuk box office selama berminggu-minggu.

Pada akhir tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an, film-film bertema percintaan remaja mulai menguasai, dengan ditandai

oleh meledaknya film Gita Cinta dari SMA pada tahun 1979. Jenis film percintaan remaja ini meledak dengan bintang-bintang yang ketika itu juga remaja. Selain Rano Karno dan Lydia Kandow, tercatat pula Yessy Gusman, Herman Felani, Anita Carolina, Kiki Maria, dan lain-lain. Kejayaan film percin-taan remaja ini ditingkahi oleh film-film komedi Warkop DKI dengan debutnya Mana Tahaan yang meledak dahsyat pada tahun 1977. Awal tahun 1980-an adalah masa kejayaan film-film percintaan remaja dan komedi

Warkop DKI. Mulai tengah tahun 1980-an film-film model Si Boy mengambil alih, dimu-lai dengan film Catatan Si Boy yang meledak pada tahun 1987 dengan melejitkan nama Onky Alexander.

Namun, sejak krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 dan awal 1998, produksi film Indonesia mengalami penurunan. Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia dianggap mengalami situasi mati suri sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat se-makin populernya televisi yang menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia dianggap mulai kembali menggeliat dan bangkit kem-bali pada tahun 2002.

Data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebutkan, mulai tahun 2002 jumlah produksi film naik menjadi 9 buah atau naik 5 buah dari tahun sebelum-nya. Angka produksi tersebut terus naik hing-ga pada tahun 2005 dan 2006 menjadi 33 buah. Kemudian pada tahun 2007 dan 2008 masih mengalami kenaikan masing-masing 53 buah dan 75 buah. Kemudian pada tahun 2012, produksi film juga meningkat, dengan judul film yang dirilis adalah 90 judul. Pada

periode Januari - pertengahan Mei 2013, sudah ada 44 judul yang dirilis, sementara pada periode yang sama tahun 2012 hanya ada 40 judul.

Namun, geliat peningkatan produksi film Indonesia yang terlihat sejak tahun 2002 itu, lebih banyak didominasi oleh film-film yang memiliki isi cerita yang mengumbar birahi dan eksploitasi seksualitas, baik dalam film yang memang bertema percintaan maupun horror dan komedi. Memang, dalam rangka melejitkan dunia perfilman Indonesia dan menarik minat masyarakat, tema-tema horor, seks, cinta, kekerasan, dan komedi menjadi tema yang mendominasi.

Di dalam buku Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia karya Eric Sasono dan kawan-kawan (2011), tercatat bahwa memasuki abad 20-an, setelah film Petualangan Sherina (2000) berakhir, dimulailah tren film dengan berbagai tema, seperti Jelangkung (2001) yang dianggap sebagai tonggak tren film horor remaja. Kemudian, Ada Apa dengan Cinta? (2002) yang menjadi piranti awal tren film percintaan. Lantas, muncul film-film seperti Tusuk Jelangkung (2003), Eiffel I’m in Love (2003), Di Sini Ada Setan (2004), Arisan! (2004), dan lainnya. Buku ini juga mencatat bahwa produksi film yang memiliki tema-tema seperti itu, terus meningkat pada 2007–2011. Bahkan, film Indonesia pernah menggunakan bintang porno internasional sebagai kosmetik, misalnya film Menculik Miyabi (2010) dengan tokoh utama bintang porno Maria Ozawa.

Di dalam buku itu, secara gamblang dikemukakan tentang buramnya perfilman Indonesia. Misalnya tentang penggunaan

bintang luar negeri, yang sebetulnya bukan hal baru dalam perfilman nasional. Pada era 1980-an, banyak bintang film asing yang berakting di film nasional. Misalnya Kristina E Weitz dalam film Permainan Tabu (1984) dalam genre film komedi-seks. Kemudian Barbara Constable dalam film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988), sebuah film yang bergenre horor laga seks. Namun begitu, kenyataan tentang peng-gunakan bintang porno hingga mendomi-nasinya film-film seks, horor, cinta, dan kekerasan, tampaknya dengan sengaja dipakai produser film sebagai promosi untuk menjalankan politik ekonomi dalam industri film Indonesia. Terbukti, film-film yang mengumbar birahi seperti film Men-culik Miyabi berhasil menyedot penonton sebanyak 447.453.

Hasil penelitian yang dicatat oleh buku ini juga menemukan perkembangan tren baru terkait dengan bioskop. Bagaimana sebuah proses perubahan besar dalam perkembangan bioskop terjadi dan sebet-ulnya mempengaruhi pula pola perilaku penonton film di Indonesia. Hal ini ditandai dengan semakin mewahnya bioskop-bioskop grup 21 yang dibangun di dalam mal. Akibatnya, kegiatan menonton film menjadi sangat terbatas karena berubah menjadi gaya dan tren hidup kelas atas.

Hal tersebut jelas berbeda dengan

kondisi bioskop sebelumnya yang lebih banyak berdiri dengan gedung sendiri dan tidak tersekat oleh status sosial ekonomi penon-ton film Indonesia. Kita masih in-gat, bagaimana pada era 1980-an, bioskop masih berada di berbagai daerah dan lokasi, bahkan dalam lokasi Pasar Jaya, dan yang fenom-enal sebetulnya adalah kegiatan layar tancap.

Memang tidak mudah untuk menjawab persoalan yang mem-belit dunia perfilman Indonesia. Persoalan-persoalan yang ada bu-kanlah persoalan yang sederhana. Sebut saja misalnya persoalan tata edar film di bioskop dan masalah bioskop yang kurang mendapat dukungan pemerintah. Dengan kondisi ini, diprediksikan dari 600 layar bioskop yang ada di Indo-nesia, 100 layar akan hilang pada tahun depan.

Selain itu, masalah kualitas film yang masih rendah. Pihak produ-sen seolah hanya mengharapkan keuntungan semata. Tema-tema film yang beredar masih seputar komedi, seks, musik, dan horror dan ini menjadi alas an pembena-ran argumen. Memang, jumlah

produksi film terus meningkat. Bahkan, ada seki-tar 140 film yang hadir di bioskop dalam satu tahun. Namun terkait dengan kualitas film yang beredar secara dominan, persoalan kualitas tersebut menjadi persoalan yang serius.

Adegan-adegan syur seperti ciuman dan adegan “panas” lainnya digunakan para produser film untuk mendongkrak popularitas film dengan tujuan utama ingin meraup keuntungan. Para produser berdalih ingin menggambarkan fenomena sebenarnya yang terjadi di masyarakat yang tujuannya untuk memberi-tahukan kepada para orang tua tentang pergaulan bebas yang terjadi di kalan-gan remaja sekarang ini. Namun, pada kenyataan-nya justru adegan ciuman bibir atau bahkan free sex menjadi semakin populer

dan dianggap biasa dan wajar oleh para anak muda di negeri ini.

Kita semua mahfum bahwa film adalah media komunikasi massa yang memiliki pengaruh sangat besar dalam memberikan hiburan, edukasi, serta mempengaruhi pola budaya masyarakat. Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk memasti-kan bahwa tayangan film yang beredar luas itu benar-benar memberikan edukasi yang baik namun tidak meninggalkan sisi hiburan (entertaining). Film yang me-nampilkan budaya asli Indonesia, film yang mampu membangkitkan rasa nasionalisme bangsa, film yang mampu menjadikan eks-otisme Negara kepulauan ini dikenal dunia, serta dan film-film mendidik lainnya, sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih dan menjadi tujuan utama produsen film, tidak hanya untuk mencari keuntun-gan pribadi semata. Sehingga suatu saat, kita bisa merasakan manfaat prinsipil dari tayangan film, yaitu bisa mengubah kondisi dan pola budaya bangsa Indonesia seka-rang ini, menjadi lebih baik di masa depan. Ayo Bung Rebut Kembali!

Page 8: Kinescope Magz Edisi 5

14 15l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

interview bentaR kURniawan

Sejak kecil, Memet, nama panggilan kesayangan Slamet Rahardjo, tidak pernah terlintas

untuk aktif dan menekuni dunia akting. Ketika ia duduk di kursi sekolah, ia paling anti untuk deklamasi alias main sandiwara. Justru ia bercita-cita menjadi seorang penerbang, yang ingin melintas dan mengelilingi dunia. Sayangnya, ketika ia lulus SMA tahun 1967 di Yogyakarta, cita-cita tersebut kandas akibat tidak lulus tes. Tidak jelas apa yang menjadi kendalanya saat itu, apakah di tes IQ ataukah di tes bagian fisiknya yang kurang memadai. Hikmahnya, di balik ketidaklulusannya tersebut, memang sang ayah tidak merestui putra pertamanya ini menjadi Pilot.

Hal ini bukan menjadi kendala baginya. Pilihannya jatuh pada Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Alasan memilih ATNI karena sejak kecil darah seni sang Bunda telah tertanam dalam dirinya. Lagi-lagi, keberuntungan tidak datang untuk dirinya. Memet merupakan angkatan terakhir yang tidak lulus akibat vakumnya kampus tersebut.

Untuk meneruskan perjuangannya di bidang seni, ia meneruskan menuntut ilmu di Akademi Film Nasional Jayabaya. Di sini pun ia tak sampai tamat, akibat berselisih dengan seorang dosen.

Ia tidak patah arang dan pupus perjuangan. Ia harus meraih apa yang ingin di inginkannya. Kemudian ia mendaftarkan diri di Sanggar Teater Populer. Teater yang benar popular pengelolaannya di bawah pengawasan almarhum Teguh Karya. Anak Mayor udara dan cucu Asisten Bupati Serang ini akhirnya bergabung di sanggar Teater Populer pada tahun 1969, yang saat itu posisinya sebagai anak bawang. Seksama dan rajin memperhatikan apa yang diberikan oleh pembimbingnya, Teguh Karya, ia naik panggung dalam pertunjukan drama Pernikahan Darah, Kopral Woyzek dan Perhiasan Gelas.

Dua tahun kemudian, ia kembali dipercaya Teguh Karya, sang guru, untuk membintangi Wadjah Seorang Lelaki. Setelah tiga tahun bergelut di dunia film dan bergabung di Sanggar Teater Populer, tahun 1974, namanya

Slamet rahardjo bicaraKecintaannya pada tanah air Indonesia makin tertanam di dalam lubuk sanubari pria kelahiran Serang Banten, 21 Januari 1949. Di dunia teater, Slamet Rahadjo sangat aktif membangun citra seni bumi pertiwi sejak ia bergabung di sanggar Teater Populer bersama Teguh Karya (alm). Kakak dari sang politikus Eros Djarot ini mengatakan bahwa masyarakat Indonesia pecinta seni, sebagian tersesat.

dipanggil ke Podium. Ia meraih penghargaan sebagai Aktor Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI). Piala FFI tersebut diberikan kepadanya berkat aktingnya yang lihai di film Ranjang Pengantin. Perkawinan Dalam Semusim, Badai Pasti Berlalu dan November 1828, adalah film-film yang ia lakoni berikutnya. Di sinilah Memet banyak mendapatkan ilmu seni yang bermanfaat untuknya hingga menjadi Maestro di bidang seni dan kebudayaan.

Beberapa kali ia meraih penghargaan. Rembulan dan Matahari yang meraih tiga piala citra FFI tahun 1980, Sutradara terbaik FFI 1985 di film Kembang Kertas, Langitku Rumahku menang di Festival International Des Trois Continent, Nantes, Perancis (1990).

Penghargaan berikutnya, yaitu pada tahun 1991, di raih dalam film Langitku Rumahku. Film ini meraih Best Children Film, Melbourne Film Festival. Lalu tak kurang, penghargaan seperti Sutradara Terbaik Bali International Film Festival (2003) dan Satya Lencana Kebudayaan RI (2004). Kemudian Film Dokumenter Kantata Takwa, yang dibuat bersama Erros Djarot, meraih penghargaan Golden Hanoman dan Geber Award pada Jogja Netpac Asian Film Festival 2008, Anugerah Akademi Jakarta 2008 serta Anugerah Federasi Teater Indonesia 2009.

Memet, putra dari Djarot Djojoprawiro dan Ennie Tanudiredja, selain menjadi kebanggan keluarganya, juga mempunyai kegiatan yang banyak dibutuhkan orang lain. Ilmu yang di dapatkannya, ia sumbangkan sebagai Dosen Penyutradaraan FFTV, IKJ dan Ketua Yayasan Teater Populer.

Jiwa Seni dan PemimpinJiwa seni yang tertanam di dirinya berasal

dari ibu. Pekerjaan Sang Bunda itu hanya sebagai pemahat dan pelukis. Sedangkan

jiwa kepemimpinannya di dapatkan dari ayahnya. Sang ayah berpesan bagaimana

menjadi seorang lelaki yang baik. Jadi pemimpin itu nomor dua, bukan

nomor satu. Jadilah seorang lelaki

yang bertanggung jawab. Dan, jika sudah menjadi pemimpin, jangan merasa menjadi pemimpin, jiwa rendah hati dan saling hormat menghormati harus diwujudkan. Dapat mengerem kemauan di dalam dirinya. Harus mengutamakan rakyatnya.

“Contohnya, warisan dan harta yang dimiliki bapak saya tidak pernah di urus. Ketika saya tanyakan, bagaimana dengan tanah yang masih ada? Bagaimana dengan suratnya? Ayah saya menjawab, itu sudah milik Tuhan,” ingat Slamet atas perkataan ayahnya.

Pembentukan-pembentukan inilah yang ia dapatkan. Ia tidak merasa diajarkan oleh kedua orangtuanya. Ketika itu, ia hanya melihat pekerjaan yang dijalankan kedua panutannya itu. Misalnya lagi, ia mencontohkan, kayu yang tidak indah menjadi indah atas pahatan sang Bunda. Hal-hal kecil inilah yang membawa keberhasilan. Ternyata, sebuah pemikiran yang diperlukan. Imajinasi yang positif juga tidak boleh di tinggalkan.

“Dari sinilah timbul kepercayaan pada diri saya bahwa kehidupan itu luar biasa. Kehidupan itu indah, berkah bisa menjadi musibah, jika tidak pandai mengendalikan. Begitu juga musibah bisa menjadi berkah jika tahu hikmahnya. Tiba-tiba ada frame-nya. Frame yang saya rasakan yaitu kesenian. Seniman itu dilarang bodoh,” tutur Slamet.

Seiring dengan perkembangan jati dirinya, Slamet memperoleh isyarat, kenapa Ki Hajar Dewantara memakai nama Taman Siswa, bukan Sekolah Siswa. Baginya, Taman itu tidak ada dinding. Lepas, dapat melihat bebas. Maknanya jelas, bila belajar menjadi hanya membaca apa yang diajarkan oleh guru jika dinamakan Sekolah Siswa. Berbeda dengan makna Taman Siswa, semua yang dilihat, dapat menjadi guru, lebih luas. Dengan demikian ilmu yang di dapatkan akan lebih banyak lagi. “Kaji terus sampai manapun. Jangan pernah merasa letih untuk mengkaji sebuah ilmu,” tegas Slamet.

masyarakat Tersesat“Perjuangan yang dilakukan oleh teman-

teman ketika memperjuangkan reformasi tidak kehilangan roh Indonesia. Namun sekarang ini orang Indonesia dewe-dewe, individualisme, ini yang membuat saya merasa aneh. Saya, sebagai seniman, hanya dibentuk dari kegelisahan-kegelisahan dalam mencintai negara ini. Saya melihat sekarang ini, pada sebagian masyarakat, di badannya sudah tidak lagi menempel kebudayaannya. Saya tidak tahu, apakah mereka

membayangkan kebudayaan luar, barat atau

kebudayaan mana

yang

ada di benak mereka itu. Karena saya memantau, perlahan tapi pasti informasi-informasi dari luar akan diserap oleh masyarakat kita ini. Sehingga dengan demikian saya melihat adanya pemaksaan kehendak, sebagian masyarakat tersesat. Jika tersesat, apa mereka ingat pulang? Kan tidak ingat pulang lagi. Jika mereka sudah mulai kelaparan dan sudah merasa memerlukan rumah, baru mereka akan kembali,” jelas Slamet, panjang.

Menurutnya dari dahulu sampai sekarang seniman masih berjuang mati-matian di negeri tercinta ini. Contohnya, dahulu banyak seniman yang ditangkap. Sedangkan kemanakah para politisi? “Artinya banyak orang yang tumbuh dari negara yang sangat produktif, menciptakan orang-orang yang produktif,” ujar Slamet.

Kenapa mereka di sesatkan? Ya, karena mereka memang disesatkan oleh ketidakjelasan kepemimpinan. Bangsa Indonesia seperti yang telah diketahui sudah kehilangan kepemimpinan yang teladan. “Katanya percaya bahwa yang salah Kapten, bukannya Kopral. Tetapi sekarang ini Kapten tersebut diam-diam aja. Presiden itu dilahirkan setiap waktu lima tahun sekali. Pemimpin belum tentu lima tahun satu. Presiden ini adalah jabatan, tetapi pemimpin itu terlahir sejak kecil. Pemimpin tidak di jadwalkan oleh Pemilu,” ucapnya lirih.

Menurut Slamet, sekarang ini terjadi kemunduran budaya. Tidak hanya dirinya yang mengeluhkan hal ini, mungkin saja sebagian masyarakat juga mengeluhkannya. Misalnya, ia melirik kasus Century. Ia melihat bahasa yang dipakai, yang ditayangkan di stasiun televisi, antar anggota pemerintahan bukan merupakan bahasa Indonesia yang baik. Itulah sebagian dari ciri khas orang-orang yang tidak memahami nilai-nilai aura kesenian. Menurutnya lagi, sekarang ini semuanya telah berubah. Banyak aktor yang hanya modal tampang. Perlu di ingat yang demikian ini bukan aktor tetapi selebritis.

Perubahan untuk mengantisipasi tersesatnya ini harus dari masyarakatnya sendiri. Demikian juga dengan pemerintah yang harus menunjang fasilitas demi fasilitas, agar proses produktif seni budaya bisa berjalan lancar. Mencintai produk dan karya bangsa Indonesia juga menjadi penting, Karen bila diri kita sendiri saja tidak sadar dan terus saja fokus pada kebudayaan luar, ya semakin tersesat.

“Perubahan ini tidak bisa cepat. Ini kan bukan hom pim pa. Ini suatu pola pikir, paradigma dan sistim kehidupan yang bagaikan membalikkan telapak tangan. Apalagi saya ini orang film, seniman, saya percaya dengan proses yang selalu menginginkan perubahan. Setiap proses terjadi perubahan masing-masing, tuntutannya pun masing-masing,” ungkap Slamet untuk menutup diskusi.

14 l Kinescope l Desember 2013

Page 9: Kinescope Magz Edisi 5

16 17l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

1996. Abdee dan Ridho dipanggil SLANK untuk datang jamming bersama Bimbim dan Ivan. Ternyata, SLANK yang ingin membuktikan bahwa SLANK tidak bubar walaupun personil hanya sisa Bimbim, Kaka dan Ivan melakukan tur. Abdee dan Ridho pun diajak, dan diberi persyaratan untuk bisa membawa-kan 35 lagu SLANK hanya dalam waktu 3 hari! Tur keliling daerah pun dimulai, dan saat itulah dimulai pertualangan SLANK dengan format baru. Kehidupan rock and roll, mereka bertemu berbagai lapisan masyarakat, mengenal Indone-sia, dan terutama.. mengenal diri sendiri.

Formasi baru SLANK dengan album TUJUH sukses besar, namun di saat itu pula ketergantungan Bimbim, Kaka dan Ivan akan narkoba semakin kuat. Bunda Iffet, bersama Abdee dan Ridho pun berusaha supaya Bimbim, Kaka dan Ivan bisa lepas dari jerat narkoba, karena mereka semua yakin perjalanan SLANK masih panjang, dan masih banyak yang bisa mereka lakukan untuk orang lain.

Tidak ada yang bisa menghalangi SLANK untuk terus maju ke depan. Tidak narkoba, tidak perpecahan. Selama semua dijalankan bersama-sama. Dengan sahabat. Dengan keluarga. Dengan keluarga besar SLANK dan keluarga besar Indonesia. SLANK Nggak Ada Matinya. Piss!

Film ini menceritakan pengalaman nyata sepasang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Eropa. Bagaimana mereka beradaptasi, bertemu dengan berba-gai sahabat hingga akhirnya menuntun mereka kepada rahasia besar Islam di benua Eropa.

Diangkat dari novel laris karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, film ini mengambil lokasi di 4 negara: Vienna (Austria), Paris (Perancis), Cordoba (Spanyol) dan Istanbul (Turki).

Film ini merupakan produksi ke-40 Maxima Pictures dan akan ditayang-kan pada hari jadi ke tujuhnya yang jatuh pada tanggal 5 Desember 2013.

Slank nggak Ada Matinya

99 Cahaya Di langit eropa

PrEViEW

PRodUSeRPutrama Tuta

SUtRadaRaPutrama Tuta

PenULiSPutrama Tuta

PemeRanAdipati DolkenRicky HarunAaron AshabAjun PerwiraMeriam Bellina

PRodUSeR Yoen KOdy Mulya HidayatSUtRadaRa Guntur SoeharjantoPemeRan Acha SeptriasaAbimana AryasatyaRaline ShahNino FernandezDewi SandraMarissa NasutionAlex AbbadFatin Shidqia LubisGeccha Tavvara

PRodUSeR Putut Widjanarko, Avesina SoeblSUtRadaRa Benni SetiawanPemeRan Lukman Sardi, Abimana, Astrid Roos, Mathias Muchus, Rendy Akhmad, Zulfani

Dat

a Pe

nont

on

filmindonesia.or.id

Cinta brontosaurus 892.915

Coboy Junior the Movie 683.604

STATiSTiK

1

308 285.392

5

Get M4rried 306.886

4Manusia Setengah Salmon 429.762

3

Sang Kiai 219.734

8la tahzan 235.718

7

Air terjun pengantin phuket 215.161

9

2

Cinta Dalam Kardus 213.014

10

refrain 281.922

6

Melanjutkan ceritera Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, Eden-sor mengisahkan perjalanan Ikal, bersama sepupunya, Arai yang berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di Sorbone – Paris.

Petualangan mereka di eropa, justru dimulai dengan sebuah kesialan. Gara gara terlambat tiba di asrama transit yang dituju, Ikal dan Arai diusir oleh Van Der Wall, sang induk semang asrama. Akibat kelalaian itu mereka harus membayar dengan udara dingin dibawah nol derajat. Menembus udara dingin bersalju, tubuh Ikal membeku. Arai berusaha untuk menyelamatkan dengan men-gubur Ikal dalam tumpukan humus. Upaya Arai ini menyelamatkan mimpi Ikal.

Ikal dan Arai menjalani hari-hari menimba ilmu di Sorbone. Ikal mengambil master ekonomi dan berkomplot dengan Manooj, Gonjales dan Ninocchka, yang tergabung dalam Pathetic Four. Komplotan yang dibangun karena senasib sebagai rakyat negara berkembang, dan juga sebagai mahasiswa yang tertinggal dalam pelajaran. Walaupun arai beda jurusan, tapi Arai berteman pula dengan anggota pathetic four ini.

Ada hal lain yang membuat Ikal dan Arai cemas. Kabar dari ayahnya menyebutkan timah yang makin melorot dan lahan Beli-tung yang tak bisa ditanami. Ayah ikal berharap, Ikal dan Arai bisa menjadi ahli pupuk dan apoteker. Karena, sang ayah beranggapan kalau jurusan itu jauh lebih bermanfaat di Belitung. Tapi Ikal dan Arai terlanjur punya mimpi yang lain.

Sementara itu, Katya, gadis yang jadi bahan rebutan para pria di kampus sorborne ini, mencoba menggelitik relung hati Ikal. Katya memilih Ikal jadi pacarnya. Tapi Ikal merasa amat bersalah, seakan telah menodai perasaannya untuk Aling. Katya bersaing menggantikan posisi Aling dihati Ikal. Namun yang jelas, situasi itu menurut Arai, Ikal tidak lagi fokus belajar. Terbukti, nilai ujian tengah semester Ikal hancur.

Kini Ikal tersebak dalam putaran segitiga kehidupannya, cinta, keluarga dan mimpi. Ditambah pertentangannya dengan Arai, yang membuat dua sahabat ini berbeda langkah…

laskar pelangi 2: edensor

17Desember 2013 l Kinescope l

Page 10: Kinescope Magz Edisi 5

18 19l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

PrEViEW

the right one

PRodUSeRGandhi Fernando Thaleb Wahjudi Laura Karina Michella Adlen

SUtRadaRaStephen Odang

PenULiSJonathan Cocco

PemeRanTara BasroGandhi FernandoDave AlexandreSheila TohirTara WraithBran VargasTim MatindasHaseena BharataVijay Kumar

The Right One adalah flm Indonesia karya anak bangsa berbahasa Inggris. Film ini juga adalah sebuah kolaborasi dengan penulis asal Hollywood, JONATHAN COCCO. Dan aktris asal Goldcoast-Australia, TARA WRAITH serta band pengisi soundtrack berasal dari Perth-Australia, OAK TREE SUITE.

JACK (Gandhi Fernando) dan ALICE (Tara Basro) adalah dua profesional muda tinggal di Bali. Jack terjebak dalam pekerjaan pe-

rusahaan bank yang membosankan untuknya. Sedangkan Alice mendedikasikan hidupnya sebagai ahli biologi laut tetapi dia lebih meng-inginkan untuk terjun ke lapangan daripada malah terjebak duduk dalam kantor. Suatu hari mereka berdua berada di bar yang sama. Dua orang asing memulai percakapan dan koneksi langsung terjalin.

Mereka memutuskan untuk menghabis-kan sepanjang hari, pergi ke tempat-tempat yang berbeda di seputar Bali dan berbincang tentang kehidupan, cinta, dan rasa frustasi dari dunia pasca-kuliah mereka. Selama percaka-pan mereka, kita diperlihatkan serangkaian flashbacks. Kita belajar bahwa Jack and Alice selalu berada di waktu dan posisi yang sama saat momen dan hal dramatis dari kehidupan mereka, hanya saja entah bagaimana mereka tidak pernah menyadari tentang keberadaan mereka satu sama lain. The Right rencananya di rilis pada February 2014.

Page 11: Kinescope Magz Edisi 5

20 21l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

rEViEW

SagarmathaSagarmatha, yang dalam bahasa sansekerta berarti “Dahi Langit” merupakan sebuah film yang ber-genre road movie. Dari poster dan sinopsis film ini, menggambarkan tentang pegunungan dan persahabatan. Yang terbayang oleh saya, film ini mungkin akan

semenarik film 5CM yang mengangkat tema yang sama, yaitu Gunung dan Sahabat. Bahkan dalam pemikiran saya, film ini akan jauh lebih

menarik karena bertempat di Pegunungan Himalaya yang notabene lebih tinggi dari Gunung Semeru-nya 5 CM.

Film yang menceritakan tentang Shila (Nadine Chandrawinata) dan Kirana (Ranggani Puspandya), dua sahabat yang

memiliki impian untuk bisa menaklukkan Puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya, yang dalam bahasa Nepal disebut Sagarmatha. Mereka bersahabat sejak masa kuliah. Meski sama-sama tergabung dalam organisasi Pecinta Alam, namun keduanya memiliki minat yang berbeda. Shila yang lebih tertarik untuk menulis, sedangkan Kirana lebih asyik bersama dunia fotografinya. Keduanya pun melakukan perjalanan menuju Nepal untuk mewujudkan impian mereka mendaki Puncak tertinggi di dunia.

Dalam perjalanan tersebut banyak kendala yang harus mereka hadapi, dan dalam perjalanan itu pula terungkap perbedaan cara mereka memandang hidup ini. Hingga kemudian perpisahanlah yang mereka pilih, keduanya memutuskan untuk berjalan masing-masing dengan keyakinan bahwa manusia pada akhirnya semua akan sendirian.

Pemilihan judul film ini rasanya sudah tepat jika dikaitkan dengan ide dari film ini. Sagarmatha atau Head of the Sky, merupakan perlambang tingginya mimpi dan cita-cita yang ingin diraih oleh dua gadis yang bersahabat dalam film yang berdurasi 98 menit ini.

Dalam memproduksi film ini, sang sutradara (Emil Heradi) ternyata hanya menggunakan satu buah kamera type DSLR 5D. Tanpa lighting, boomer dan murni hanya 1 kamera untuk keseluruhan pengambilan gambar. Sehingga bisa dimaklumi jika di beberapa scene ada beberapa gambar yang kurang fokus, guncang dan suram. Tapi ternyata dengan keterbatasan tersebut juga bisa menghasilkan beberapa view yang indah dari pegunungan Himalaya, sehingga menampilkan sinematografis yang mampu memuaskan mata penonton untuk ikut bertualang dalam perjalanan dua sahabat

tersebut.Namun

sayangnya, sinematografis yang indah tersebut tak didukung dengan skenario yang menarik, yang mampu mengajak penontonnya untuk tak hanya memuaskan mata dengan pemandangan indah, namun juga bisa membuat penonton tak merasa bosan dengan alur cerita di dalamnya. Konsep dan ide cerita yang menarik ternyata kurang bisa digarap dengan baik oleh penulis skenario dan sutradara film Sagarmatha ini. Perpindahan alur maju mundur yang meloncat tak terarah, memberi kebingungan pada penonton. Misal di satu adegan saat Shila dan Kirana berada di stasiun kereta dan tiba-tiba mendadak proses adegan berlangsung mundur. Kemudian saat Shila dan Kirana mendadak ada di gunung yang berada di Indonesia, padahal sebelumnya adegan mereka sedang mendaki menyusuri pegunungan Himalaya, apalagi adegan tersebut mengalami pengulangan berulangkali. Mungkin maksud si pembuat cerita ingin mengajak penonton berpikir kemana arah petualangan ini akan berakhir, namun karena penggarapan yang kurang baik serta adanya beberapa scene yang rasa-rasanyanya tak perlu ada, membuat penonton merasa bosan menyaksikan film ini. Ditambah akting dari dua tokoh utama film ini pun terasa begitu hambar tanpa greget.

Meski view yang disajikan menarik, namun jika tak didukung dengan alur cerita yang menarik, rasanya tak salah jika penonton terus menerus melirik jam untuk menantikan film ini

cepat usai. Andai scene yang tak perlu, semisal adegan memotret obyek-obyek tak penting berulang kali yang dilakukan Kirana dan adegan wawancara dengan beberapa turis diganti dengan menambahkan pendalaman cerita petualangan atau konflik, misalnya salah satu tokoh mengalami hypothermia saat melakukan pendakian di pegunungan Himalaya dan bagaimana cara mereka mengatasinya. Atau bisa juga diganti dengan menjelaskan konflik-konflik pribadi yang dialami masing-masing tokoh dengan keluarga atau pasangan mereka, yang mungkin bisa membuat penonton tidak merasa jenuh mengikuti loncatan kisah yang garing.

Namun, dengan segala kekurangan yang ada di film ini, patut diacungi jempol untuk semangat Indie dari film ini. Begitupun untuk D.O.P. nya, tak mudah untuk bisa mendapatkan beberapa view indah dengan keterbatasan alat. Semoga lain waktu, bisa tercipta Road Movie yang menarik secara keseluruhan, alur cerita hingga gambar yang disajikan. Dukung terus film karya anak bangsa dengan menjadi penonton yang makin cerdas memilih tontonan yang tak hanya menghibur, namun juga memiliki nilai kehidupan di film tersebut.

novita Rini

diReCtoREmil HeradiCastwRiteRDamas CendekiaPRodUCeRAbdul ManafCo-PRodUCeR Abduh AzizEdward GunawanPemain Nadine ChandrawinataRanggani Puspandya

Page 12: Kinescope Magz Edisi 5

22 23l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Shandy GaSeLLarEViEW

Kedua petikan dari pidato Sukarno tersebut tak kita temukan dalam film ‘Soekarno’ garapan Hanung Bramantyo (‘Sang

Pencerah’, ‘Ayat-ayat Cinta’) yang hari-hari ini jadi perbincangan hangat di masyarakat. Namun, sebagai bangsa yang besar yang menghormati jasa pahlawannya, rupanya pembuat film ini sadar betul dan hendak melecut rasa nasionalisme kita dengan cara mengajak penontonnya untuk mau berdiri menyanyikan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ sebelum filmnya dimulai.

Bila hal tersebut belumlah pantas disebut sebagai cara menghormati jasa para pahlawan, setidaknya ia jadi gimmick yang menarik dan sekaligus cara ampuh yang secara psikologis mampu memberi penonton rasa memiliki

terhadap film ini. Dan, ini adalah film tentang Bapak Bangsa kita. Lantas, kalau sudah begitu, masih adakah celah untuk melihat film ini secara kritis?

Ada lusinan buku biografi tentang Sukarno yang pernah diterbitkan di negeri ini. Dalam buku ‘Soekarno: Arsitek Bangsa’ tulisan Bob Hering yang terbit pada 2002, Sukarno selain sebagai pejuang bangsa, juga digambarkan sebagai sosok soko guru yang menyatukan seluruh nusantara. Dan, yang paling menarik, buku ini dilengkapi 125 foto eksklusif, sejumlah foto yang di antaranya bahkan dianggap mampu berbicara lebih tentang sosok Sukarno itu sendiri.

Ada pula buku ‘Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ tulisan Cindy Adam

yang terkenal itu. Dalam buku karya Cindy Adam ini, Sukarno digambarkan sebagai sosok yang berperasaan halus, pengagum wanita dan (lagi-lagi ini yang menarik), disebut sebagai penyuka bantal guling! Jangan lupakan pula buku-buku sejarah untuk anak sekolah yang juga memuat kisah sepak terjang Sukarno dalam perjuangan kemerdekaan.

Hanung dan Ben Sihombing sebagai duo penulis film ini tak meminjam buku tentang Sukarno versi mana pun, tulisan siapapun, sebagai dasar naskah film ini. Rupanya Hanung cukup pede dengan tim riset yang dibentuknya sendiri untuk menggali bahan cerita bagi filmnya ini.

Rupanya Hanung lebih pede ketimbang para sutradara dari Hollywood itu yang kerap kali mengisahkan filmnya berdasarkan novel atau buku biografi karangan orang lain. Di Hollywood sana banyak sekali film yang naskah ceritanya terinspirasi atau berdasarkan buku, bahkan tak jarang film-film yang naskahnya ditulis berdasarkan buku itu berhasil menggondol piala Oscar, misalnya saja ‘Lincoln’ karya Steven Spielberg yang edar tahun lalu. Sutradara sekaliber Steven Spielberg saja masih mengandalkan hasil riset karya orang

Soekarno“Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam.”

lain sebagai fondasi cerita untuk film yang dibesutnya. Tak melakoni cara-cara yang dilakukan oleh Spielberg, Hanung Bramantyo bolehlah sedikit jumawa dengan karya film terbarunya ini. Ehem, dan saya sedang mencoba sedikit sarkastik di sini.

Wujud dari hasil kerja tim riset film ini adalah suguhan kisah hidup Sukarno yang ditampilkan secara kronik, plus bonus sedikit kisah asmara segitiga antara Sukarno dan kedua istrinya, Inggit dan Fatmawati. Rasa-rasanya, bagi penonton yang tak pernah melahap bacaan tentang Sukarno selain buku sejarah waktu bersekolah dulu, film ini tak menawarkan cerita baru selain kisah asmara Sukarno bersama istri-istrinya tadi. Film ‘Soekarno’ adalah visualisasi megah dari sejumlah bab yang terdapat dalam buku sejarah anak sekolah.

Dalam teknik pembuatan film, ‘Soekarno’ dibuat secara sungguh-sungguh; itu tak terbantahkan lagi. Film ini juga didukung oleh para aktor jempolan di titik paling puncak karier akting mereka sejauh ini. Ario Bayu (‘KALA’, ‘Catatan Harian si Boy’) sebagai Sukarno berhasil memikat, tak hanya Inggit dan Fatmawati, namun juga hati penonton dengan

pesona dan kharismanya. Maudy Koesnaedi (‘Garuda di Dadaku’, ‘Love Story’) sebagai Inggit mampu membuat hati kita remuk tatkala ia diceraikan Sukarno. Tika Bravani (‘Make Money’, ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’) sebagai Fatmawati, lewat penampilannya, ah, kita pun tahu dan mengerti alasan Sukarno jatuh hati kepadanya.

Lukman Sardi (‘Laskar Pelangi’, ‘Quickie Express’) sebagai Hatta jelas tak tampil buruk. Namun, selain penampilan fisik yang hampir menyerupai tokoh aslinya, Lukman tampil kurang maksimal; masih tipikal seperti penampilannya yang sudah-sudah di film lain yang dibintanginya. Penampilan pendatang baru Tanta Ginting sebagai Sjahrir adalah scene stealer yang memukau.

Berkat para aktor inilah ‘Soekarno’ memiliki bobot yang lebih, dengan catatan, kita harus melupakan keberadaan Ferry Salim. Ayolah, siapa pula yang termakan penampilannya sebagai komandan Jepang? Astaga, Ferry Salim! Bila saya boleh berbicara sedikit dalam bahasa Jepang untuk mengomentari penampilannya, watashi wa wakarimaseng! -- saya tak mengerti! Dan seperti yang saya bilang tadi, sebaiknya kita lupakan saja

keterlibatannya di film ini. Ferry Salim ibarat anti-tesis dari seorang Tanta Ginting. Setiap scene yang melibatkannya di film ini adalah badai yang selalu saya harapkan segera berlalu.

Selepas tayang perdana pada 11 Desember lalu, film ini menuai banyak puji-pujian, satu diantaranya bahkan menasbihkan ‘Soekarno’ sebagai film terpenting tahun ini! Pujian yang cukup beralasan -- bila tak mau disebut berlebihan.

Tak ada kritik berarti bagi hampir semua aktor yang berperan dalam ‘Soekarno’, kecuali departemen cerita. Dan memang hal ini sangat mudah menyulut perdebatan seperti “Soekarno-mu ya Soekarno-mu, Soekarno-ku ya Soekarno-ku”. Sebab, konon tokoh bapak bangsa kita yang satu ini “multi tafsir” bak kisahnya tercantum di dalam kitab suci saja. Oleh karenanya, pembuat film ini memang sah-sah saja menampilkan Sukarno lewat tafsirnya sendiri. Sah-sah saja Soekarno digambarkan sebagai lelaki gentleman yang penyayang, santun, menghormati para wanita, dan lain sebagainya. Namun sayang, ada yang dilupakan tentang bagaimana Sukarno mampu merebut hati rakyat, bukan hati wanita saja.

Kita dibuat manut saja dengan penggambaran sosok Sukarno yang begitu dipuja dan dicintai rakyat dengan pidato-pidatonya di depan khalayak ramai. Pembuat film ini tak mampu menunjukkan apa pemikiran sang tokoh utama kita, tak tergambarkan apa atau siapa yang menginspirasinya hingga ia menjadi orang hebat. Saya dan mungkin sebagian penonton lainnya tentulah ingin tahu seberapa besar Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Karl Marx, Lenin, atau Jean Jaures yang terkenal sebagai ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis itu, memengaruhi pemikiran Soekarno. Tokoh-tokoh inilah setahu saya, termasuk juga masih banyak lagi yang lainnya, yang sedikit banyak membentuk karakter seorang Soekarno.

Pembuat film ini juga tak menunjukkan apa pemikiran sang tokoh utama kita, kecuali lewat adegan-adegan pembelaan di depan pengadlan kolonial, dan saat debat di BPUPKI. Pembentukan karakter Sukarno di masa ‘nyantrik’ di rumah Cokroaminoto di Surabaya pun hanya ditampilkan sekilas. Tak tergambarkan apa atau siapa sebenarnya yang menginspirasinya hingga ia menjadi orang hebat. Jika hal tersebut digali lebih dalam, niscaya tak hanya jadi sekedar film yang penting, film ini bahkan akan jadi mutiara yang berkilau.

Memang, seperti satu lagi petuah Sukarno --”barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam”-- Hanung mestinya menyelam lebih dalam lagi. Jangan sampai, dengan tim riset yang telah dibentuknya, ia terkesan hanya berenang tak jauh dari permukaan, sekedar mengingatkan kembali hal-hal tentang Sukarno yang secara umum kita semua sudah mengetahuinya dengan baik.

Kalimat itu adalah satu dari sekian banyak ungkapan yang pernah terlontar dari mulut Bung Karno semasa hidupnya, selain ungkapannya yang paling populer sepanjang masa, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.”

Page 13: Kinescope Magz Edisi 5

24 25l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

rEViEW

isyarat

“Isyarat” merupakan gebrakan bagi penggiat film Indie yang memiliki tujuan agar film-film pendek mereka bisa turut serta meramaikan bioskop nasional. Ya, sebagaimana kita tahu bahwa kebanyakan film pendek Indie sangat sulit mendapatkan tempat di bioskop lokal dan hanya festival film yang selama ini menjadi tempat para sineas film Indie menunjukan karya mereka.

“Isyarat” merupakan film omnibus yang terdiri dari lima film pendek yang mengangkat tema yang sama, manusia dengan “kemampuan lebihnya” atau pada umumnya disebut “Indra keenam”. “Teman Bayangan”garapan Asmirandah mengisahkan Dewi (Asmirandah), gadis muda yang memiliki kemampuan psikokinesis. Dewi memiliki teman khayalan bernama Fly (Jonas Rivanno), yang selalu mengikuti kemanapun Dewi pergi. Hingga akhirnya Dewi menyadari bahwa kekuatannya dapat melukai orang yang

dicintainya. Komedi situasional karya Monty Tiwa

“Lost and Found”, mengisahkan Oki (Poppy Sovia) yang kehilangan dompetnya dan bertemu Sisi (Prisia Nasution), seorang janitor yang mempunyai kemampuan menerawang kejadian masa lampau. Reza Rahardian menyutradarai segmen “Gadis Indigo”, yang berkisah mengenai Maya (Revalina S Temat), yang mampu membaca sifat seseorang dengan menggambar wajahnya hingga akhirnya bertemu dengan Ganda, pria yang sulit dia baca kepribadiaannya.

Adhyatmika, sutradara muda alumni Indie Movies 2009, menyutradarai segmen “Flora” yang berkisah mengenai gadis bernama Flora (Taskia Namiya) yang dapat bersinggungan dengan hal-hal dari dunia astral dan kisah cintanya dengan Danel (Abimana Arya). Dan terakhir “Tanda Bahaya” garapan Donny Alamsyah, yang ingin menggambarkan bahwa

dalam keadaan terdesak, manusia bisa lebih kejam dari binatang.

Mengangkat tema tentang “Indra Keenam”, “Isyarat” terlihat kurang eksplorasi dalam menggali hal unik yang ada pada kemampuan yang jarang dimiliki ini. Dengan mengangkat tema yang cukup menarik dengan menyajikan beberapa jenis kemampuan “Indra keenam”, baik mampu melihat masa lalu hingga melihat makhluk dunia astral, “Isyarat” hanya terlihat sekedar memberi tahu bahwa indera keenam itu ada, tanpa mengeksplorasi lebih jauh tentang penyebab dan akibat-akibatnya. Walaupun begitu, “Teman Bayangan” garapan Asmirandah, mampu memberikan sebuah kisah menarik mengenai psikokinesis dan sosok Fly sebenarnya, yang mampu membuat penonton menduga-duga siapa sebenarnya Fly tersebut. Dibalut dengan nuansa surealis, membuat segmen ini yang paling menonjol dibanding segmen yang lain.

Rohman SULiStiono

“Lost and Found” tampil sebagai segmen yang paling menghibur dan mampu mengundak tawa. “Lost and Found” menyajikan komedi situasional dibalut percakapan dan gerak-gerik konyol dari kedua tokoh utama Oki dan Sisi. Paruh awal hingga tengah cerita, film ini dibangun dengan cukup meyakinkan dan memberikan ketegangan di setiap adegannya, walaupun dari segi cerita bisa dikatakan cukup klise. Paruh akhir segmen terlihat tidak fokus dan akhirnya akan mengundang pertanyaan “ceritanya udahan?” Namun penampilan menawan dan total terlihat ditampilkan oleh kedua aktris utama segmen ini, Poppy Sovia dan Prisia Nasution yang membuat “Lost and Found” tetap menarik dan membuat penonton terbawa petualangan mereka.

“Gadis Indigo” menyuguhkan kisah cinta Maya dan Ganda yang klise. Reza Rahardian yang sebelumnya juga pernah menangani salah satu segmen dalam “Wanita Tetap Wanita”

berjudul “With or Without” ini terlihat kurang maksimal dalam menggarap “Gadis Indigo”. Reza seperti kehilangan kendalinya dalam film ini. Hasilnya “Gadis Indigo” tampil seadanya, seperti kehilangan daya tariknya dan alur ceritanya terasa mengambang. Amat disayangkan transisi antara segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak begitu terlihat, sehingga terasa seperti kedua segmen ini seperti satu segmen panjang. Hal ini diperkuat sosok Maya yang merupakan teman dekat dari Flora dan Flora pun tampil cukup banyak di segmen “Gadis Indigo”.

Apabila pada segmen sebelumnya pergantian segmen ditandai dengan ilustrasi komik bergaya pop art, namun pada perpindahan segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak ada yang menandainya. Entah memang sengaja ingin agar terlihat menjadi satu segmen cerita antara “Gadis Indigo” dan “Flora”, namun cara ini membuat segmen “Gadis Indigo” jadi terlihat seperti menggantung tanpa akhir.

Adhyatmika kurang dapat mengeksplor sosok Flora yang memiliki kemampuan lebih dapat melihat sosok ghaib. Flora terlihat seperti perempuan biasa, walau ada adegan di mana Flora diperlihatkan dengan penampakan, namun untuk beberapa orang tanpa

kemampuan indra keenampun terkadang dapat diberi wujud penampakan.

“Tanda Bahaya” hadir sebagai segmen tersingkat dan paling klise dari semua segmen. Tidak seperti film utuh, entah apa alasannya menampilkan “Tanda Bahaya” seolah hanya sekedarnya. Padahal sosok Evan yang diperankan oleh Dion Wiyoko adalah tokoh kunci yang menyatukan sosok Indigo di empat segmen. “Tanda Bahaya” dan Evan-nya bermaksud sebagai penghubung semua segmen dalam film ini, namun terasa gagal dan menjadi kisah yang agak janggal.

Editing yang bisa dibilang cukup unik, terutama di bagian akhir film yang menampilkan alur maju mundur memang mampu membuat penonton sedikit berpikir. Namun membuat beberapa adegan yang niatnya membuat penonton bertanya-tanya, justru terkesan gagal karena terlalu lama dan mengulur-ngulur waktu. Namun begitu, penampilan Abimana Arya sangat total dalam film ini. Abimana Arya membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik saat ini dan memang layak menjadi nominasi aktor terbaik FFI 2013.

Terlepas dari semua kekurangan yang ada, Omnibus ini didukung dengan sinematografi yang menawan dan indah. “Isyarat” memiliki tema yang sangat menarik untuk diangkat dan dikembangkan walau hasilnya masih kurang memuaskan. Walaupun begitu, film ini masih sangat layak untuk ditonton dan cukup menghibur, apalagi bisa menjadi pendorong semangat belajar dari beberapa moviemaker muda yang tergabung dalam komunitas Indie Movie. Semangat untuk mewujudkan film Indie yang mampu menembus bioskop nasional, patut didukung dan diapresiasi lebih. Mudah-mudahan produksi selanjutnya dari komunitas ini akan lebih baik dan mampu memberikan tontonan yang tidak hanya bisa menghibur, namun juga memberikan kita tontonan yang berkualitas dan memberikan informasi yang edukatif.

“Indie Movie Goes To Cinema”, sebuah semangat yang dikampanyekan kepada khalayak luas mengiringi rilis film “Isyarat” di bioskop. Memang “Isyarat” lahir dari rahim komunitas Lingkar Alumni Indie Movie, sebuah komunitas para alumni dari peserta LA Light Indie Movies, yang selama 7 tahun konsisten melakukan workshop dan serangkaian pelatihan lain untuk para calon moviemakers muda yang mempunyai passion di dunia film.

Page 14: Kinescope Magz Edisi 5

26 27l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

rEViEW

Namun perlahan-lahan, situasi komedi dan lucu mulai terlihat dari adegan demi adegan yang tertuang dalam film ini.

Dengan irama komedi yang terbalut drama ringan, film ini menjadi terasa dinamis dan mampu membawa penonton untuk masuk dalam alur pikir penceritaannya.

Yang menarik adalah kuatnya pesan yang ingin disampaikan oleh film ini begitu mengena, walaupun disampaikan dengan ringan, lucu dan sangat mudah dicerna oleh penonton. Bahwa uang, status sosial, karir dan jabatan serta gengsi tidaklah melebihi pentingnya arti keluarga, sahabat dan keterlibatan kasih sayang di dalamnya. Film ini cukup berhasil mengemas cerita yang menarik dan mengejutkan namun dikemas dengan baik dalam menggambarkan kehidupan yang nyata di Indonesia, yang bisa kita saksikan sehari-hari.

Film ini bercerita tentang kehidupan Aris (Pandji Pragiwaksono) dan Rachmat (David Saragih) yang kaya raya namun manja nan angkuh, berubah seketika setelah sang ayah, Pak Tri (Ray Sahetapy), meninggal dunia. Mereka mendadak jatuh miskin, lantaran Pak Tri mewariskan seluruh harta dan asetnya kepada pemulung yang ditemuinya di jalan, Odi (Ence Bagus), karena sebuah kejadian. Aris dan Rachmat yang semula tak akur pun mau tak mau kudu bekerja sama menemukan Asri (Ratna Riantiarno), ibu mereka yang ternyata

masih hidup dan kaya raya. Dalam film ini, hampir seluruh

pemainnya memainkan peran dengan natural dan ini mungkin didukung oleh kebiasaan dan profesi sehari-hari dari mereka yang memang tidak jauh dari seni peran dan melucu. Semua pemain memainkan perannya dengan sederhana tapi itulah yang seharusnya. Semua karakter yang dimainkan dalam

Make Money, sebuah film komedi yang merupakan debut dari sutradara Sean Monteiro dan Pandji sebagai lead actor. Dari melihat daftar pemain yang mendukung film ini, kita bisa langsung menebak film ini bergenre komedi. Namun menonton film ini di awal, kita bisa merasa salah tebak, karena adegan dan penceritaan yang ada terkesan serius dan memaksa kita berpikir.

Make Money

film ini rata-rata memiliki karakter yang kuat, namun berhasil dimainkan dengan sederhana dan terlihat natural tanpa beban.

Walaupun masih terlihat ada beberapa alur konflik dan penggambaran tentang benturan sosial masih terasa datar tanpa fokus yang terlalu seimbang diantara pemeran-pemeran sentral ini, namun film ini mampu menawarkan alur cerita yang dinamis dan berhasil menautkan adegan demi adegan yang memberikan penyimpulan yang klimaks pada penontonnya. Dan pada akhirnya, yang dibutuhkan oleh penonton adalah bukan hanya bisa terhibur dengan tontonan yang menarik, namun juga bisa membawa pulang nilai dan pesan yang baik, tanpa harus merasa terpaksa karena diberikan dengan sederhana dan dikemas dalam bangunan komedi yang mudah dicerna.

diReCtoR Sean MonteirowRiteR Sean Monteiro, Haqi AchmadPRodUCeR Syaiful Wathan, Sean MonteiroPemain Pandji Pragiwaksono, Ray SahetapyEnce Bagus, David Saragihv, Tika BravaniRatna Riantiarno

aL fian adha

Page 15: Kinescope Magz Edisi 5

28 29l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

diReCtoR KIM Yong-gyun (THE SWORD WITH NO NAME, THE RED SHOES, WANEE AND JUNAH)

CaStLEE Si-young UM Ki-joonHYUN WooMOON Ga-youngLoekman HakimDavid Kurnia Albert

Genre film horror di Korea mungkin masih kalah pamornya dengan genre Thriller yang lebih sering diproduksi

oleh “negeri gingseng”. Genre thriller Korea bisa dibilang lebih banyak memiliki cerita yang menarik dan variatif dibanding horror Korea. Sebut saja film thriller mengenai balas dendam “I Saw The Devil” yang mampu membuat saya beberapa kali menahan napas dan “kegirangan” melihat adegan “keras” yang ditampilkan di film tersebut atau “Oldboy” yang mampu bicara banyak di kancah dunia hingga Hollywood me-remake film masterpiece karya Park Chan Wook ini. Apalagi bila harus membandingkan film horror Korea dengan tetangganya “Jepang” yang terkenal memiliki segudang cara jitu membuat penonton ketakutan hingga loncat dari kursi ketika menonton film- film horror produksi “negeri matahari terbit” ini. Bukan berarti Korea tidak punya film horror yang menyeramkan, sebut saja “A Tale of Two Sisters” namun film horror Korea kebanyakan memiliki “formula” yang sama dan cenderung repetitif dalam film-filmnya. Sehingga bisa dibilang genre horror Korea kurang diminati bahkan dinegaranya sendiri.

Dibawah rumah produksi CJ Entertaiment,” Killer Toon” menyuguhkan hal menarik dengan menggabungkan film “Live Action” yang tersaji dengan visual yang baik dan cantik dengan animasi dan ilustrasi komik yang berkarakter membuat film ini memiliki ciri khas berbeda

Rohman SULiStiono

Killer toonDitengah kurang bergairahnya film horror Korea, “Killer Toon” muncul memberikan sebuah “gebrakan”. Secara tidak diduga, “Killer Toon” mampu merajai Box Office Korea dan mampu menembus 1 juta penonton dalam penayangannya di Korea. Tentu saja ini merupakan prestasi bagi “Killer Toon” yang merupakan film horror pertama yang mampu menembus 1 juta penonton setelah sebelumnya “Death Bell” pada tahun 2008. Lalu apa yang membedakan “Killer Toon” dengan film horror Korea yang lain? Apa kunci suksesnya?

dengan film horror Korea yang lain. Hal ini tidak lepas dari sang sutradara, Kim Yong-Gyun yang mampu merealisikan dengan baik naskah hasil Lee Sang-hak yang mampu melihat dengan jeli fenomena webcomic yang sedang digandrungi di Korea menjadi sebuah cerita yang mampu membuat penonton berjerit ketakutan.

“Killer Toon” berkisah tentang Kang Ji-yoon (Lee Si-young) seorang komikus terkenal yang harus terkait terhadap kasus kematian misterius yang ternyata berhubungan dengan karya-karya webcomic-nya. Beberapa kasus kematian mengerikan yang terjadi dikehidupan nyata terlihat persis seperti yang tergambar pada ilustrasi webcomic yang dirilis oleh Kang ji-yoon. Hal ini tentu saja membuat Lee Ki-cheol (Um Ki-joon), seorang dektektif berhasrat untuk memecahkan misteri ini. Lee Ki-Cheol menelusuri keterkaitan antara komik-komik karya Kang ji-yoon dengan serangkaian kematian mengerikan yang akhirnya akan membawa sang detektif kepada kenyataan yang mengerikan serta menunjukan sisi gelap manusia.

Film yang memiliki judul Korea “Deo Web-tun: Yeo-go-sal-in” ini jelas merupakan horror misteri berbalut supranatural hantu-hantu-an dengan kutukan web-comic sebagai premise yang menjadi andalan dalam film ini. Film dibuka dengan adegan pembunuhan sadis nan mengerikan serta misterius terhadap seorang editor yang tersaji dengan apik dengan balutan visual yang cantik serta penambahan efek komikal membuat film ini enak dilihat serta meninggalkan misteri dan rasa penasaran disetiap adegannya. Hal ini membuat saya “duduk cantik” dibangku bioskop dan sangat siap mengikuti misteri yang ada pada film ini.

Atmosfir menyeramkan terbangun baik dalam film ini. Ya memang bisa dibilang cara sutradara yang pernah menggarap Red Shoes pada tahun 2005 ini dengan membangun atmosfir mengerikan menjadi “Jualan” utamanya. Ya memang hakikatnya film horror dibuat untuk membuat penontonnya menjerit ketakutan. Penampakan hantu yang cukup variatif tidak itu-itu saja menjadi nilai plus pada film ini. Sesekali saya pun kaget dan mendengar jerit penonton (lebih banyak wanita) saat hantu menampakan diri. Namun yang menjadi perhatian saya adalah berbagai twist yang ada dalam film ini. Kim Yong-Gyun mampu meramu twist dengan sangat baik dan cukup membuat film ini jadi makin misterius. Namun, perubahan karakter tokoh dalam film ini terasa agak dipaksakan seiring berjalannya film. Paruh akhir film saya mendapatkan cirri khas dari film Korea, iya melodrama khas Korea terasa dibagian akhir. Korea yang terkenal dengan film drama yang mampu menyentuh hati pun mampu “meng-invasi”

hingga ke film horrornya. Tidak masalah memang, mungkin ini maksud dari Killer Toon untuk memberikan rasa lain dalam filmnya.

Terlepas dari semuanya, Killer Toon merupakan film horror Korea yang dari cukup mengerikan dan mampu menakut-nakuti penonton. Bisa dibilang ini adalah film horror Korea yang memuaskan ditengah lesunya film horror disana. Misteri yang terdapat dalam film ini juga mampu membuat rasa penasaran untuk terus mengikut setiap kasus serta fakta yang ditampilkan pada setiap adegannya. Twist-twist yang terdapat dalam film ini juga terasa ampuh. Selain kisah yang berbalut misteri yang baik, tentu saja pengaruh web-comic yang booming disana menjadi hal pendukung keberhasilan film ini dalam meraih jumlah penonton yang banyak.

rEViEW

29Desember 2013 l Kinescope l

Page 16: Kinescope Magz Edisi 5

30 31l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

rEViEW

Sekitar seminggu setelah terhibur dengan film Horror asal Korea Selatan, “Killer Toon”,, kini saya kembali “dihadapkan”

dengan satu lagi film “Box Office” asal negara “Super Junior” tersebut. Ya akhir-akhir ini memang “Invasi” Korea pada negara ini tidak hanya melalui muka mulus boyband-girlband serta cerita Melodrama yang hampir tiap sore “nangkring” di televisi lokal melainkan juga dengan film-film yang tayang dibioskop lokal. Tentu hal ini bukan berarti sebagai hal yang negatif, sisi baiknya adalah penonton mempunyai pilihan lain dalam menonton film dibioskop selain film-film lokal serta tentu saja Hollywood yang merajai pasar. Film Korea yang rilis di Indonesia-pun mayoritas mampu dikategorikan “memuaskan” penonton. Tahun ini saja setidaknya ada “Miracle in Cell No.7”, “Mr.Go”, “The Flu” dan tentu saja

“Snowpiercer” karya Bong Joon-Ho. Bong Joon-Ho adalah sutradara Korea yang namanya cukup “Wangi” di perfilman dunia. Bagaimana tidak, film-film karyanya bisa dibilang mengesankan . “The Host” contohnya yang rilis pada tahun 2005 mampu berdiri kokoh dipuncak “Box Office” Korea Selatan hingga saat ini. Bong Joon-Ho bisa dibilang sutradara asal Korea Selatan favorite saya selain kreator dari “Oldboy” yang juga memiliki nama besar di Korea Selatan, Park Chan- Wook.

Para “Survivor” yang selamat dari keganasan dinginnya bumi mencoba bertahan hidup di sebuah kereta lokomotif yang sangat panjang dan bergerbong banyak bernama “Snowpiercer”. Mereka yang selamat hidup dengan kesenjangan sosial yang sangat terasa didalam kereta. Terjadi “pembatas” antara si miskin yang tinggal di ekor dan si Kaya yang

tinggal dibagian depan gerbong. Merasa tidak diperlakukan adil dan keji, Curtis Everett (Chris Evans) bersama “Kaum Ekor” seperti Edgar (Jamie Bell) dan sosok yang dituakan serta dihormati Gilliam (John Hurt) merancanakan sebuah revolusi. Sebuah gerakan menuntut keadilan serta menjatuhkan kekuasaan sosok yang dianggap bak dewa bagi beberapa penghuni “Snowpiercer”, Wilford (Ed Harris) karena Wilford-lah sang pembuat kereta “Snowpiercer” dan dianggap bak sosok yang suci karena menyelamatkan dari “kiamat” bagi orang-orang di gerbong depan. Namun bagi orang-orang digerbong ekor, Wilford-lah dalang dibalik kesengsaraan hidup mereka selama 17tahun di Kereta.

Awalnya saya berpikir bahwa “Snowpiercer” adalah film khas “Musim Panas” dengan balutan efek yang menawan serta bertujuan

“Snowpiercer” menawarkan kisah “Post Apocalypse” dimana bumi kembali mengalami “Ice Age” setelah sebuah percobaan meluncurkan sebuah zat ke lapisan ozon yang bertujuan untuk menekan pemanasan global pada tahun 2014 berakhir gagal dan membuat bumi mengalami zaman es sehingga kehidupan dibumi pun berangsur-angsur punah.

Rohman SULiStiono

SnowpiercerBong Joon-Ho, 2013

mengikuti jejak teman senegaranya, Park Chon-Wook yang telah lebih dulu menggarap film Hollywood “Stoker”. Bong Joon-Ho tentu saja tidak menyia-nyiakan “fasilitas” khas Hollywood yang dia dapatkan. Cast yang sudah terkenal dan mendunia, Special Effect yang menawan khas film-film blockbuster dan tentu saja kucuran dana besar mengiringi pembuatan “Snowpiercer”. Segala “kenikmatan” itu tidak lantas membuat Bong Joon-Ho “termakan”. Sentuhan sineas yang juga terkenal dengan “Memories of Murder” tetap menunjukan ciri khas nya. Bong Joon-Ho tetap mampu meramu sisi estetis dan tematis menjadi sebuah tontonan yang berkualitas. Segala fasilitas Hollywood tetap tidak membuat Bong Joon-Ho lupa akan kualitas dan menjaga orisinalitas dalam berkarya.

Dikaruniai beberapa cast yang telah dikenal luas tak membuat “Snowpiercer” hanya sebagai tontonan menjual tampang semata. Penampilan sosok “Captain America” Chris Evans bisa dikatakan beda dari penampilannya di film lain. Di tangan Bong Joon-Ho sosok “Superhero” bersifat “Baik-baik” ini dibuat menjadi sosok lelaki 30-an pemimpin revolusi kaum bawah yang keras dan agak ambisius. Chris Evans mampu memancarkan begitu menderitanya dan begitu keras upayanya untuk menuntuk keadilan dari sosok di gerbong depan yaitu Wilford. Usaha keras Chris Evans untuk membangkitkan sosok Curtis bisa dibilang berhasil dengan mampu melepas bayang-bayang karakter “superhero” yang biasa dia perankan di film-film Hollywood. Bong Joon-Ho juga mampu menempatkan Jamie Bell dan John Hurt pada pos-pos yang tepat. Yang sekali lagi sang sineas tidak menyia-nyiakan nama terkenal di Hollywood ini hanya sebagai pengait penonton namun juga memaksimalkan kontribusi mereka dalam film ini. Namun yang paling mencuri perhatian adalah sosok Mason yang diperankan Tilda Swinton yang mengesalkan namun beberapa perilakunya dapat menggelitik dan mengundang tawa. Saya masih ingat betul Tilda sebagai Eva, sosok ibu yang penuh beban hidup dalam “We Need To Talk About Kevin” dan saya melihat “sosok Lain” Tilda Swanson pada film ini. Dengan penampilan khas ningrat dan perilaku yang mampu membuat penonton gemas, Tilda mampu meghidupkan sosok mason yang keji dan mengesalkan. Tilda sukses memerankan tokoh antagonis

yang menyebalkan namun mengesankan ini. Diantara nama-nama Hollywood, Bong Joon-Ho tetap menggunakan talenta lokal asal Korea Selatan. Song Kang-ho dan Go Ah-sung adalah dua artis asal Korea Selatan yang berperan sebagai Bapak dan Anak yang sama-sama pecandu batu bernama Kromol. Song Kang-Ho yang pernah bekerjasama dengan Bong Joon-Ho sebelumnya pada film “Memories of Murder” ini memerankan mantan kepala keamanan yang turut membantu kelompok Curtis melewati lorong demi lorong. Bisa dibilang penampilan bapak – dan anak ini adalah pemeran penting dalam menunjukkan salah satu ciri khas dari Bong Joon-Ho, Black Comedy. Komedi yang dilontarkan melalui gimmick atau ucapan mereka mampu mengundang tawa penonton.

Snowpiercer merupakan debut film berbahasa Inggris pertama Bong Joon-Ho yang sekali lagi saya tekankan tidak disia-siakan oleh sang sineas. Bong Joon-Ho mampu meramu segala elemen baik tema cerita, cast yang telah dikenal luas, sisi estetis serta visual effect khas Hollywood yang mampu memanjakan mata menjadi sebuah kesatuan yang membuat “Snowpiercer” menjadi film Bong Joon-Ho rasa Hollywood yang masih layak untuk ditonton. Walau Snowpiercer ber-setting hanya dikereta, namun Snowpiercer mampu memberikan pengalaman menonton yang megah. Tema Snowpiercer tentang batasan kelas dalam kehidupan sosial yang disampaikan oleh Bong Joon-Ho menyentil kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat yang memandang manusia dan membatasi manusia dengan sistem kelas. Sistem kelas yang membatasi lini kehidupan manusia dijadikan alasan sebagai salah satu cara mempertahankan keseimbangan kehidupan dibumi. Dilain sisi pembatasan antara si kaya dengan si miskin secara luas dapat menghasilkan kesenjangan sosial serta mungkin saja dapat menimbulkan pemberontakan di salahsatu kubu atau terjadi perpecahan. Seperti yang tergambar pada Snowpiercer dimana sistem kelas mampu menyulut pemberontakan antara kaum yang tinggal di gerbong ekor terhadap orang-orang yang tinggal di bagian depan kereta sedangkan Wilford menganggap batasan itu harus ada untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Lantas apakah batasan menggunakan sistem kelas dibutuhkan untuk kehidupan?

“hanya” sebagai penghibur penonton. Namun, Bong Joon-Ho membawa kisah yang diangkat dari novel grafis berbahasa Prancis dengan judul asli “Le Transperceneige” ini kedalam cerita yang cukup berat dan penuh makna. Dengan tema yang dewasa berbalut beberapa intrik politik didalamnya membuat film ini tidak begitu saja “menyuapi” cerita dan makna dalam film kepada penonton. Penonton akan diperlihatkan sebuah miniatur kehidupan disetiap gerbong yang dilalui oleh gerombolan Curtis. Bong Joon-Ho mampu menyimbolkan dengan baik kereta dengan keadaan sosial dibumi sesungguhnya. Mengenal system kelas. Manusia dibatasi oleh “Gerbong-gerbong” berkedok kekayaan, jabatan, atau hal lain sehingga manusia yang miskin punya tempat sendiri, di ekor dengan fasilitas sesuai dengan “kelas”nya. Si kaya yang mampu membayar lebih mempunyai tempat sendiri yang tidak mau diusik oleh kelas dibawahnya. Seperti layaknya ketika menaiki kereta. Kita akan dituntut memilih untuk menggunakan kelas mana. Ekonomi atau eksekutif? Dan kita akan menerima sesuai apa yang kita bayar.

“Snowpiercer” jelas tidak seperti film Bong Joon-Ho sebelumnya. Ada rasa Hollywood didalamnya. Ya memang ini adalah kesempatan emas bagi Bong Joon-Ho untuk mengharumkan namanya dikancah perfilman dunia serta

Page 17: Kinescope Magz Edisi 5

32 33l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

rEViEW

Apa yang kamu lakukan bila terjebak selama 48 jam di rumah sakit tanpa listrik, tanpa pasokan makanan bersama bayi yang baru lahir secara prematur yang harus berada di inkubator? Berlatar belakang 29 Agustus 2005, Nolan Hayes (Paul Walker) mengantarkan istrinya, Abigail (Génesis Rodríguez) menuju ke rumah sakit New Orleans untuk melahirkan anak pertama mereka.

hoUrSNolan harap-harap cemas

menanti anak pertama mereka. Tak lama setelah

masuknya Abigail ke ruang operasi, badai Katrina menyerang kota New Orleans dan menghancurkan pantai Louisiana. Nolan tidak terlalu perduli dengan badai Katrina, ia hanya perduli dengan istrinya yang sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka.

Setelah beberapa jam, Dr. Edmonds (Yohance Myles) memberitahu Nolan bahwa Abigail melahirkan seorang anak perempuan. Namun ternyata sang istri meninggal akibat kehabisan darah. Kelahiran buah hati yang seharusnya menjadi hal yang sangat membahagiakan, dengan cepat berubah menjadi kesedihan dan keterpurukan.

Nolan tidak bisa menerima kematian istrinya begitu saja. Ia tak percaya Abby (nama panggilan istrinya) meninggal sebelum ia melihat jasadnya. Nolan mencari jasad Abby dan ia langsung makin terpuruk setelah melihat jasad istrinya.

Di kala Nolan tengah berusaha mengatasi keterpurukannya atas kepergian istrinya, Suster Shelly (Kerry Cahlil) mendatanginy untuk memberikan akta kelahiran anak perempuannya. Nolan berpikir lama. Tak lama ia menulis ‘Abigail’ di akta kelahiran itu. Bersamaan dengan itu, efek badai Katrina benar-benar membuat seisi rumah sakit panik dan bersiap untuk dievakuasi ke rumah sakit yang lainnya. Baby Abigail yang baru lahir tidak bisa dibawa begitu saja

karena belum mampu bernafas sendiri dan perlu bantuan alat-alat medis.

Di sinilah naluri seorang ayah keluar. Ketika semua penghuni rumah sakit berlomba-lomba untuk pergi ke tempat yang lebih aman (termasuk dokter dan perawat), Nolan harus tetap tinggal di dalam rumah sakit untuk menemani dan melindungi anaknya. Tanpa listrik, tanpa pasokan makanan, dan dengan persediaan batere inkubator yang hanya bertahan 3 menit (dan terus berkurang) bila tidak dipompa dengan alat pompa listrik manual, Nolan harus berjuang agar baby Abigail tetap bisa bernafas di dalam inkubatornya.

Ketika sedang berjuang untuk baby Abigail, Nolan teringat akan pertemuan pertamanya, kencan pertamanya, dan malam pertamanya dengan istrinya, Abby. Ingatan itu membuatkan Nolan makin bersungguh-sungguh untuk menjaga baby Abigail.

Pasca badai Katrina, kota New Orleans lumpuh total. Banjir dimana-mana. Helikopter penyelamat mendekati rumah sakit, dengan cepat Nolan menaiki tangga menuju atap, namun malang, helikopter yang tadinya sudah mau menuju ke atap rumah sakit, mendadak pergi karena ditembaki oleh orang yang tidak diketahui identitasnya. Nolan sudah mulai tidak kuat dengan keadaan ini. Suasana sepi rumah sakit dan datangnya para penjarah bersenjata membuatnya makin terpuruk.

Penjarah pertama hampir membunuh Nolan dan baby Abigail, namun dengan lihainya ia dan Sherlock –anjing penyelamat yang ia temukan sedang tersangkut tali di belahan rumah sakit yang lain- berhasil membuat penjarah bersenjata itu pergi dari rumah sakit. Tidak tidur dan kelelahan, Nolan masih harus menghadapi dua penjarah bersenjata lainnya. Walaupun lelah, Nolan berhasil mengalahkan mereka dengan menyuntikan segenggam suntikan yang berhasil membuat salah satu penjarah terbujur kaku, kemudian ia menembakan peluru ke kepala penjarah yang lain.

Eric Heisserer (A Nightmare on Elm Street, Final Destination 5) berhasil membawa kita ‘masuk’ ke dalam film ini. Art yang apik, membuat suasana di film ini benar-benar membawa kita ikut merasakan apa yang dirasakan Nolan.

Namun sayangnya akting Paul Walker di film ini tidak se-epic aktingnya di Fast & Furious. Latar belakang dan karakter Nolan Hayes yang tidak ditampilkan secara gamblang, membuat karakter ini dibayang-bayangi karakter Brian O’Conner dari Fast & Furious. Walaupun bergenre thriller, HOURS berhasil membuat mata saya dan beberapa mata penonton lainnya berkaca-kaca saat melihat Nolan Hayes terpuruk dengan keadaannya. Bagi penggemar berat Paul Walker, HOURS akan tayang eksklusif di Blitzmegaplex mulai tanggal 18 Desember 2013.

thea fathanah aRbaR

Page 18: Kinescope Magz Edisi 5

34 35l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Ada dua jenis kritik film: kritik jurnalistik dan kritik akademis. Yang pertama muncul di koran harian. Yang kedua di jurnal ilmiah. Yang pertama biasa dikerjakan oleh wartawan di suatu surat kabar. Yang kedua oleh sarjana/akademisi. Keduanya sama-sama punya peran di ranah kepenontonan.

OPiNi

film, Kritik dan logikaUntuk menyingkatnya, kita kutip saja klise

lama: masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Saya tidak hendak

berfokus pada kategorisasi itu. Walaupun pada era digital ini, relevansi dari kategorisasi itu perlu ulang. Dalam esai ini, saya lebih tertarik untuk mengurai esensi dari kritik secara umum. Artinya, kritik dalam kategorisasi dan ikhwal apapun. Yang dalam konteks kita adalah kritk film.

Berangkat dari hiruk pikuk kebebasan berpendapat, kritik—beserta sifatnya: kritis—berbaur dengan keluh kesah atas keadaan, terlebih di sosial media. Misalnya: Facebook dan Twitter. Hingga pada suatu malam, dalam obrolan via Facebook, kawan saya—sebut saja namanya Otong—bertanya: “Kritik itu dasarnya apa sih? Logika atau keluh kesah?” Pertanyaan itu terlontar tatkala si kawan merasa bahwa kritik dewasa ini lebih tampak sebagai keluh kesah, ketimbang analisis logis. Sebagaimana langit mendung yang kemudian meniscayakan keluhan: “Duh…! Bentar lagi mau hujan”.

Dalam konteks film Indonesia, keluhan serupa juga terjadi. “Baim Wong meranin Soekarno. Duh…! Bentar lagi Indonesia bubar.” Demikianlah problem kritik—maaf, maksud saya keluh kesah—yang coba saya tangkap dari pertanyaan retoris dari kawan Otong. Keluh kesah macam itu boleh saja. Namun jika itu dianggap syahih sebagai kritik. Saya menolaknya. Kritik mestinya konstruktif. Ia harus punya dasar, urutan-urutan dan pembuktian logis. Itu setidaknya bagi saya—sebagaimana tersirat pada pertanyaan retoris dari kawan Otong di muka—kritik dasarnya adalah logika, bukan keluh kesah. Kenapa demikian? Untuk menjawabnya, kita perlu njlimet sejenak dengan pertanyaan: “Apa itu kritik?”

Aspek yang paling bisa dipastikan dari terma “kritik” adalah aspek etimologisnya.

Kritik merupakan kata benda yang kerap diasosiakan dengan kata sifat: kritis. Kritik berakar dari bahasa Latin criticus dan Yunani kritikós. Keduanya memiliki arti: ketrampilan menilai. Saya pribadi lebih suka mengartikan kritik sebagai upaya untuk memberikan nilai. Memberikan nilai terhadap apa? Terhadap objek tertentu. Misalnya: film. Dengan demikian, jika kritik itu adalah kritik film, berarti kritik film adalah upaya untuk memberikan nilai pada film. Bisa satu film, bisa banyak film. Menempatkan banyak film sebagai objek kritik tentu saja lebih ribet. Ini biasanya dilakukan oleh kritikus film untuk memperoleh panorama filmik yang lebih luas. Yang jelas intinya, dalam upaya menilai (baca: kritik) berarti ada penilai dan sesuatu yang dinilai.

Dalam KBBI, kritik diartikan sebagai ‘kecaman’—atau sekedar tanggapan yang kadang-kadang disertai dengan uraian dan pertimbangan baik-buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dls. Walaupun diurai dengan bahasa lain. Kita punya arti leksikal dari kritik yang praktisnya adalah menilai. Karenanya kritik akan selalu berurusan dengan kategori nilai, seperti: benar, salah, baik, buruk, elok, jelek, bajik, durjana dls. Selanjutnya jika kita tengok posisi kritik dalam konteks modernitas. Kritik pada dasarnya mengemuka sebagai cara pandang manusia modern. Jelasnya ketika manusia memaksimalkan rasio/akal-budinya untuk menggapai pengetahuan yang lebih terang. Dengan demikian berarti, kritik berkait erat dengan rasionalitas. Atau meminjam ungkapan Martin Suryajaya: “kritik sebagai saudara kandung rasionalitas”.

Dalam konteks filsafat, terma ‘kritik’ secara khusus dipakai Imanuel Kant dalam triologi Critique-nya: Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, Critique of Judment. Di situ Kant mengesensialkan kritik menjadi kritisisme. Menurut Kant, “praktik kritisisme

tidak hanya melibatkan kekuasaan lembaga-lembaga agama, politik, tapi juga nalar itu sendiri”. Kant hendak mengarahkan kritik pertama-tama pada nalar, spesifiknya: nalar murni. Jadi ketika nalar murni sebagai sasaran pertama kritik Kant, kemudian kita tahu kritik dikonstruksi oleh nalar. Maka dalam konteks Kantian, kritik kemudian berfungsi sebagai pemeriksa penilaian-penilaian dan klaim-klaim yang semata untuk menetapkan kesyaihannya sendiri. Sederhananya, dalam trilogi itu Kant hendak menunjukan bahwa sebuah kritik atas objek kritik tertentu bukan berarti bebas masalah. Atau dalam konteks kita, bisa diilustrasikan ulang bahwa sebuah kritik untuk film A dari kritikus B pada dasarnya terbuka untuk dikritik.

Sampai sini, kita cukup tahu bahwa sebuah kritik film pertama-tama dimungkinkan karena adanya objek kritik bernama film. Selanjutnya, sebuah uraian kritis tentang film dimungkinkan karena adanya perangkat untuk mengoperasikan kritik. Perangkat itu bagi saya adalah nalar. Yang dalam konteks ilmiah, ilmu tentang nalar disebut logika. Demikianlah logika sebagai dasar kritik yang pada tataran praktisnya berlaku sebagai perangkat kritik. Logika perlu dioperasikan untuk melampaui keluh kesah. Sedemikian rupa sehingga kritik film kita, baik itu yang masuk kategori kritik jurnalistik, kritik akademis ataupun kritik blog—dalam era digital, bisa membersihkan diri dari keluh kesah. Alias eksplanasi kritik atau paparan dari hasil penilaian yang masih sebatas rasa-rasanya: rasa-rasanya aktor dalam film A bermain kurang baik; rasa-rasanya narasi sejarah B dalam film C kurang riset; rasa-rasanya filmaker kita masih sebatas tukang; atau rasa-rasanya penulis esai ini anti-perasaan; dan seterusnya... dan seterusnya...***

SULUh PamUji

Page 19: Kinescope Magz Edisi 5

36 37l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

OPiNi

Dari Memoar ke layar lebar

Sonny Hickam melanjutkan memoar pertamanya dengan menerbitkan ‘The Coalwood Way’ (2000) dan ‘Sky of Stone’

(2002). Semula ia me-retweet pernyataan dan kesan saya tentang buku ‘Rocket Boys’. Belakangan kami membahas aneka topik, teru-tama mengenai impian masa kanak-kanak dan cara ‘menghidupkan’ impian itu. Berbincang dengannya, meskipun hanya melalui Twitter dan Facebook, menularkan semangat dan keya-kinan baru buat saya. Kata-katanya santai tapi ‘berisi’. Tidak sedikitpun ada kesombongan,

padahal ia ilmuwan dan penulis yang terkenal. Di dalam bukunya, Sonny berkisah ia lahir

dan tumbuh besar di kota kecil bernama Coal-wood, yang terletak di negara bagian Virginia, Amerika Serikat. Di daerah itu, setiap anak tak ubahnya seperti ‘dikutuk’ agar menjadi penambang batubara. Tidak ada pilihan lain. Sementara Sonny dan kelima temannya sangat terpengaruh oleh berita peluncuran roket ‘SPUTNIK” milik Rusia, pada tahun 1957.

Berkat dukungan ibu guru yang penuh kasih (di dalam versi film diperankan oleh Laura

Dern), akhirnya mereka meraih penghargaan dalam suatu kompetisi science. Roket pertama secara sederhana berhasil dibuat, dan terbang tinggi menembus langit di atas Coalwood, sekaligus ‘mematahkan’ mitos para orang tua bahwa anak-anak penambang Coalwood tak mungkin bisa menjadi ilmuwan, apalagi astronot.

Hickam kelak mengambil kuliah teknik di Virginia University dan bekerja di NASA. Impi-annya menjadi astronot akhirnya kesampaian. Kini ia telah pensiun, namun masih mem-

Baru-baru ini secara tidak sengaja saya ‘bertemu’ dengan salah satu penulis favorit saya, Homer ‘Sonny’ Hickam, Jr., melalui twitter. Buku memoir-nya yang sangat bagus dan inspiratif, ‘Rocket Boys’ (1998) masih sering saya baca ulang di waktu senggang. Setahun setelah terbit, buku itu difilmkan dengan judul “October Sky” (1999). Film produksi Universal Studio itu disutradarai oleh Joe Johnston, dan para pemainnya antara lain Jake Gyllenhaal, Chris Cooper, dan Laura Dern.

weLLa SheRLita

bantu memberikan pelatihan bagi calon-calon astronot di AS; termasuk menjadi penasihat teknis dalam film ‘Gravity’ (2013).

Kepada pria yang kini berusia 70 tahun itu, saya katakan bahwa bagian epilog dari ‘Rocket Boys’ adalah halaman yang saya tandai. Saya terharu dengan sikap ayah Sonny, Homer Hick-am, Sr., yang akhirnya mengizinkan putranya yang cerdas meraih apa yang diinginkan.

Dalam twitter-nya, Sonny membalas dengan kutipan indah dari ayahnya : “The only person who can tell you that you can’t reach your goal

is yourself. And you’ll be wrong”. ‘Rocket Boys’ tidak berbeda jauh dengan

buku memoar karya penulis-penulis Indonesia, seperti Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi. Kesuk-sesan buku mereka juga belakangan difilmkan. Andrea dan Fuadi dalam hal merantau bahkan jauh lebih hebat dari Sonny Hickam. Bayang-kan, Sonny hanya ingin menjadi insinyur dan astronot. Ia tidak berangkat ke luar negeri; tetapi ‘hanya’ belajar di Virginia Tech Univer-sity. Andrea Hirata menuntut ilmu di Sorbonne, Perancis; dan Fuadi ke Amerika Serikat. Dari anak kampung di Pulau Belitong dan Danau Maninjau di Sumatera Barat, keduanya meran-tau ribuan mil ke benua seberang.

Tetapi perbedaan negara tempat studi itu bukan soal. Tidak pula saya kategorikan sebagai impian muluk yang ‘membutakan’ penulisnya ketika sudah mapan dan sukses seperti sekarang. Atau seperti kata seseorang di dalam blog-nya, bahwa kesuksesan Andrea dan Faudi membuat banyak anak-anak di kam-pung ingin pergi ke luar negeri, agar pulangnya nanti bisa seperti mereka berdua. Padahal, kata si penulis blog, untuk menjadi sukses itu tidak selalu harus sekolah di luar negeri. Saya sependapat dengan kalimatnya ini. Namun, saya kira pendapatnya yang khusus menyebut Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi sebagai ‘biang keladi’ itu terlalu negatif.

Ukuran keberhasilan suatu karya adalah ketika tujuan awalnya tercapai. Jika sekedar menggoreskan catatan pengalaman, keduanya masuk kategori berhasil, karena laris dimana-mana. Buku ‘Laskar Pelangi’, yang dialihbaha-sakan menjadi ‘The Rainbow Troops’, juga dibahas oleh banyak harian terkemuka seperti The Economist dan The Guardian. Perjuangan anak-anak agar bisa tetap sekolah, dan dukungan tanpa pamrih dari Ibu guru Muslimah dan Bapak Harfan, sebagai Kepala Sekolah adalah cerita masa lalu yang nyata, ada di Belitong. Mung-kin juga situasi sama masih terjadi hingga sekarang.

Tidak perlu memband-ing-bandingkan tetralogi memoar Andrea Hirata itu dengan tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, sebab mereka hidup di zaman yang jelas-jelas berbeda. Ini analogi yang timpang. Karya Pram adalah goresan sejarah yang penting untuk setiap anak Indonesia, agar mengenali identitas bang-sanya sehingga terbit rasa hormat di dalam hati dan pikirannya.

Sementara karya Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi mengingatkan kita selalu, bahwa impian yang paling tidak mungkin sekalipun, bisa diwujudkan. Penulis Paulo Coelho dalam novelnya, ‘The

Alchemist’, berkata: “Kalau engkau bersung-guh-sungguh, semesta akan berkonspirasi me-nolongmu.”

Tidakkah ini serupa dengan ‘mantra Kyai di Pondok Pesantren tempat Alif (tokoh utama novel memoar ‘Negeri Lima Menara’) berguru, yaitu, ‘Man Jadda Wajada’ atau ‘Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil’?

Bagi mereka yang tinggal di kota besar dan dari keluarga dengan finansial yang cukup, mungkin relatif gampang untuk sekolah ke luar negeri. Tetapi bagi anak-anak di pedalaman, itu keinginan yang keterlaluan; mungkin bermimpi pun mereka tidak berani!

Maka, seperti yang diungkapkan Sonny Hickam, memoar adalah pengingat yang bisa dibagi. Ia lebih dari sekedar pengalaman pribadi penulisnya. Dan memoar yang difilm-kan adalah upaya untuk berbagi lebih luas dan menjangkau lebih banyak orang. Tentu, dalam maksud dan cara yang positif.

Page 20: Kinescope Magz Edisi 5

38 39l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

OPiNi tattoo dan Subkultur Kaum Urban

Rian Samin

Tato atau rajah tubuh adalah ornamentasi budaya yang syarat akan simbolisasi. Sebagai bentuk budaya, usia seni tato

sudah ratusan tahun. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya rajah tubuh pada mumi di Mesir, Peru, dan Chili. Hingga zaman modern ini, seni tato juga masih didapatkan pada suku-suku di Indonesia, di antaranya Dayak Kalimantan, Mentawai Sumatera, dan Papua. Athonk Sapto Raharjo, seniman tato yang aktif sejak 1996 punya pendapat sendiri. Setelah masuknya ajaran-ajaran agama yang menabukan tato, budaya merajah tubuh ini hampir lenyap dari Indonesia. Kemudian tato hanya dapat dijumpai pada orang-orang yang berada di luar kehidupan sosial yang normal.

“Tato dianggap sebagai sub budaya yang dipakai oleh para preman, atau orang yang baru keluar dari penjara,” ujar seniman yang juga ketua Java Tatto Club ini.

Jika melihat ke belakang, pada era Orde Baru di tahun 80-an, banyak orang yang ditembak secara misterius oleh aparat negara, yang kemudian dikenal dengan istilah ‘Petrus’ (Penembak Misterius). Menurut Athonk, fenomena ini bukan hanya menjadi ‘shock therapy’ untuk masyarakat, namun juga menimbulkan kecemasan yang luar biasa bagi orang yang sebelumnya sudah memiliki tato. Sejak itulah seni tato di Indonesia bergerak secara bawah tanah dan berjuang melawan

stigma dan pandangan miring yang telah ‘dibentuk’ sebelumnya.

Menurut seniman tato yang juga dikenal sebagai komikus ini, pada era tersebut tidak ada studio tato yang resmi terbuka untuk umum, kecuali di beberapa kawasan wisata untuk turis asing di Bali, Lombok, dan Yogyakarta. Lebih lanjut Athonk menjelaskan bahwa fenomena tato mulai marak di awal tahun 90an. perkembangannya juga ditandai dengan popularnya beberapa grup musik rock yang memakai tato di tubuhnya, beberapa di antaranya adalah Guns N Roses dan Red Hot Chilli Peppers.

Kedua band ini memuat gambar-gambar tato di sampul albumnya ‘Appetite For Destruction’, dan ‘Blood Sugar Sex Magik’. Perlu dicatat penjualan album kedua band ini cukup tinggi dan persebarannya di kalangan anak muda saat itu pun cukup pesat. Terutama saat vokalis Ret Hot Chilli Peppers sempat bertandang ke pedalaman Kalimantan untuk mencari budaya tato suku Dayak.

Selanjutnya fenomena tato semakin berkembang ketika masyarakat mulai sadar dengan identitas personalnya yang berbeda antara satu dengan yang lain. Seniman tato yang pernah menempuh kuliah seni rupa di ISI Yogyakarta ini menjelaskan bahwa di era globalisasi semua suku bangsa sudah tersebar di tanah air. “Mereka inilah manusia yang

Meskipun masih dianggap tabu, di masyarakat kita tato merupakan sesuatu yang sudah sangat familiar. Bahkan bagi sebagian orang, tato amatlah lekat hubungannya dengan budaya, tak bisa dipungkiri, kini tato menjadi lifestyle kaum urban dan juga identitas personal. Selain sebagai lifestyle, tato juga menjadi simbol ekspresi dan kebebasan seseorang. Saat ini dunia tato semakin berkembang dengan semakin banyaknya jasa tato terutama di kota-kota besar, termasuk Yogyakarta.

38 39l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 21: Kinescope Magz Edisi 5

40 41l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

“orang indonesia mulai sadar ternyata budaya asli

indonesia ada seni tato yang bisa dibanggakan,”

-athonk-

tercerabut dari akar budaya aslinya, kehilangan simbol kesukuan yang menunjukan siapa, dan darimana asal mereka,” ujarnya.

Banyak yang ingin mendapatkan tato karena ingin menunjukan identitas jati diri secara personal, dan memiliki gambar yang berbeda dengan yang lain. Sejak itulah muncul istilah ‘custom’ tato yang merupakan esensi dari seni tato modern Indonesia. Kemudian orang-orang yang bertato mulai membentuk komunitas yang solid, dan pada 1997 Java Tatto Club resmi didirikan. Meski sempat mengalami

banyak rintangan, dan reaksi negatif dari masyarakat, justru hal itu menurut Athonk membuat komunitas ini semakin solid. Tahun demi tahun, Java Tattoo Club menggelar acara tahunan. “Konsistensi inilah yang membantu perkembangan seni tato, dan kesadaran masyarakat untuk menerima tato sebagai aset budaya,” ungkapnya.

Lois, seorang tattooist dan shop manager di CarpeDiem TattooStudio berujar bahwa belakangan ini komunitas tato di Yogyakarta lebih semangat dan produktif. Semakin banyak

seniman tato muda yang muncul, dan berani tampil di depan publik dengan karyanya. Selain menjaga kualitas estetik, perempuan bernama lengkap Lois Nur Fathiarini ini juga berharap agar masalah disiplin yang berhubungan dengan higienisitas harus lebih diperhatikan.

“Mungkin terlihat remeh, tapi seniman tato juga harus mengedukasi masyarakat tentang proses tato yang sehat, terutama tentang proses pembuatannya,” ujar seniman tato yang juga menjadi penjahit di Stroberi Hitam ini.

Pertama kali Lois berkenalan dengan dunia

kolektor tato pada tahun 2005. Awalnya ia tidak menyangka kalau komunitas tato di Yogyakarta itu ternyata besar. Ia memulai debut di komunitas ini hanya sebagai kolektor. Dari belasan tato yang terdapat di tubuhnya, hanya satu orang dari luar Yogya yang karyanya ada di kulitnya. Lois mengatakan bahwa pada dasarnya semua scene tato di Indonesia haus akan kesempatan, “Yaitu kesempatan untuk memperlihatkan hasil karya, untuk diakui, saling berkenalan, dan bekerja sama,” kata perempuan yang aktif di Magic Fingers Syndicate, sebuah jejaring informasi untuk penggiat handmade ini.

Komunitas tato di Yogyakarta memang cukup solid, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya gelaran yang mempertemukan para penyuka seni tato. Belum lama ini di Oxen Free, Sosrowijayan, Yogyakarta digelar acara ‘Tattoo For Charity’. Acara ini merupakan ajang penggalangan dana untuk membantu korban kecelakaan yang dialami beberapa anggota komunitas tato. Pada acara yang digelar selama tiga hari (18-20/9) lalu sejumlah seniman tato unjuk aksi memamerkan kebolehannya.

Selain itu beberapa musisi juga tampil untuk ikut serta penggalangan dana, di antaranya Brilliant, Danu (Morning Horny), Wowok Erwe, Dendang Kampungan, Dj Metzdub, dan sebagainya. Sementara seniman lainnya melelang karya mereka yang penjualannya diberikan untuk donasi, mereka di antaranya Love Hate Love, Rubseight, El Kampretoz, Marmarherz, Metodos, dan lainnya.

Adalah Helly El Mursito selaku penggagas acara yang ia berinisiatif untuk menggelar malam penggalangan dana. “Seluruh hasil kegiatan diserahkan untuk biaya perbaikan, dan berobat beberapa korban yang mengalami kecelakaan,” ujar pria yang menjadi seniman tato sejak 2001 ini.

Sebagai seniman tato, Helly yang memiliki studio bernama Kerja Keras Kulture (KKK) ini lebih dikenal dengan gaya ‘Lettering Tattoo’. Selain menjadi seniman tato, lulusan Desain Grafis ISI Yogyakarta ini juga dikenal sebagai pembuat sampul album beberapa band, di antaranya Dubyouth, dan album terbaru Superman Is Dead ‘Sunset Di Tanah Anarki’.

Dalam lingkungan urban, orang bertato seringkali berhadapan dengan administrasi formal dengan peraturan-peraturan tertentu, meski ada juga yang fleksibel. Tak jarang mereka akhirnya menghapus tato di tubuhnya dengan alasan pekerjaan, maupun beberapa alasan lainnya. Menurut seniman tato senior, Athonk Sapto Raharjo, bagi mereka yang ingin menghapus tatonya seharusnya berpikir lebih dahulu akan segala dampak dan kemungkinan buruknya. Sebab, lanjutnya jika ada tato yang jelek, kemudian dihapus dengan cara yang tidak benar, justru akan menghasilkan bekas luka yang lebih jelek juga.

Ada beberapa cara untuk menghapus tato, di antaranya dengan cara laser, ini pun harus dengan ahlinya. Athonk juga menjelaskan bahwa menghapus tato harus dengan ahlinya, terutama dengan yang memiliki sertifikat dari dinas kesehatan sebagai penjamin. Ketua Java Tattoo ini juga menjelaskan, bagi yang bosan dengan tatonya juga bisa pakai metode cover-up, artinya tato lama diganti dengan tato yang baru. “Teknik dan cara ini lebih bagus, karena tidak meninggalkan bekas luka,” ucapnya.

Di Toxic Tatto Park, studio tato kustom yang terletak di Jl. Sukonandi II no.9 Semaki Yogyakarta ini menyediakan jasa untuk menghapus tato (tattoo removal). Selain itu di sana juga melayani konsultasi, pengerjaan tato, dan piercing. Studio milik seniman tato, Munir Kusranto, dan istrinya Ajenk ini berdiri sejak 9 Juli 2000 . Kurang lebih duabelas tahun mereka menekuni bidang ini.

Menurut Ajenk tamu yang datang untuk menghapus tato biasanya karena alasan pekerjaan, selain itu karena posisi gambar yang salah, atau gambar yang tidak bagus. Di Toxic sendiri untuk menghilangkan tato menggunakan laser, dan Ajenk sendiri yang mengeksekusinya.

“Sebelum ingin menghapus, atau membuat, kami pasti memberikan konsultasi, dan dampak terburuk jika tidak bisa melakukan perawatan sesuai yang dianjurkan,” kata lulusan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta ini.

Meski tato bisa dihapus dengan laser, namun, lanjut Ajenk, dampak terburuknya

adalah terjadinya keloid, setelah tato dihapus, maka akan terjadi bekas luka yang akan menjadi koreng, “Nah biasanya orang kan nggak betah kalau korengan, gatel, risih, tinggal sabar atau tidaknya aja,” ucap Ajenk yang beberapa kali menjadi partisipan pada eksebisi tato di Australia ini.

Di antara para seniman tato, bisa dibilang Anneke adalah seniman tato wanita pertama di Yogya yang mempunyai studio sendiri. Sebelumnya, Anneke selama tiga tahun bekerja di studio Eternity Tattoo. Studio Anneke yang bernama Petrichor Tattoo tersebut terletak di Jalan Tirtodipuran no 15

Pada Maret lalu, perempuan kelahiran Bandung, 6 Juni 1985 ini berpartisipasi di event tattoo performance di Liquid Body Art, dengan tema Liquor. Di Tattoo Show, karya Anneke berhasil memenangkan kategori The Best Realist Tattoo. “Rada ngga nyangka tapi senang banget soalnya itu penghargaan pertamaku di dunia tattoo,” ujarnya.

Hal yang menyenangkan lainnya juga terjadi di Kustomfest beberapa pekan lalu, dimana Anneke berhasil memenangkan kategori The Best Black And Grey Tattoo di tato kolaborasi dengan Mamat yang juga tattooist dari Yogyakarta. Yang membuatnya lebih puas adalah desain tato kolaborasi tersebut adalah murni orisinal buatannya.

Menurut ibu dari Genta Senjakala ini hal yang perlu diperhatikan bagi seorang seniman tato adalah bisa menjaga ‘attitude’ (perilaku) ketika berada di ruang publik, jangan memberi kontribusi image negatif yang selama ini sudah melekat di profesi ini. Selain itu seniman tato juga harus membekali diri dengan edukasi yang paling mendasar soal personal hygine.

Ke depannya Anneke mengatakan ingin mencoba menjadi guest artist di studio tato di kota lain, bahkan di negara lain. Ia juga menegaskan sebaiknya dipahami bahwa tato adalah ‘body decoration’ yang seharusnya bisa mempercantik tubuh, “Bukan menghambat laju karir dan kehidupan. Jadi keputusan yang bijak sangat disarankan,” ucapnya tersenyum.

Page 22: Kinescope Magz Edisi 5

42 43l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Indonesia telah memiliki sejarah sinema, khususnya dokumenter sejak jaman Hindia-Belanda. Saat itu, banyak orang

eropa membuat film tentang kehidupan di Hindia-Belanda untuk menarik para pekerja dan pemodal dari Belanda sehingga mau bekerja disini. Pada masa penjajahan Jepang, medium audio visual ini digunakan secara massif sebagai alat propaganda mereka. Jepang termasuk salah satu negara yang berhasil mengembangkan dokumenter untuk keperluan propaganda perang yang efektif.

Masa setelah kemerdekaan, Orde Baru memanfaatkan dokumenter sebagai alat pemerintah dalam menjinakan masyarakat. Siaran berita saat itu, diisi dengan banyak dokumenter yang bercerita keberhasilan swasembada beras, panen nelayan, dan semboyan-semboyan pembangunan yang lain. Masyarakat Indonesia terlalu banyak mengalami pengalaman tidak menyenangkan dalam menonton dokumenter, karena dokumenter tidak menjadi medium kreatif penyampai realitas. Penonton melulu disuguhi informasi dengan plot yang itu-itu saja, gaya bercerita yang tidak berkembang, dan konten yang sudah dipilih-pilih oleh dewan sensor.

Reformasi menjadi salah satu momentum perkembangan dokumenter yang patut

dicatat dalam sejarah sinema Indonesia. Reformasi yang membuka banyak akses informasi dan kebebasan public menciptakan peluang-peluang untuk perkembangan dokumenter. Namun, penonton sudah lebih dulu “trauma” dengan dokumenter.

festival film Dokumenter

Setelah 3 tahun reformasi, pada tahun 2002, Forum Film Dokumenter hadir dengan Festival Film Dokumenter (FFD). Tahun 2002 menjadi momentum bagi perkembangan sinema Indonesia dan Asia Tenggara, karena FFD, festival yang fokus pada dokumenter, hadir pertama kali di Asia Tenggara.

Lambat-laun, dokumenter mulai mendapatkan ruang ekspresinya. Dokumenter perlahan tapi pasti mulai mengembangkan kualitas penceritaaannya. Perkembangan ini dapat dilihat dalam Festival Film Dokumenter tiap tahunnya. FFD berpartisipasi dalam sejarah sinema Indonesia ini sebagai bagian dari ruang

pemutaran, apresiasi, sosialisasi, pelatihan, kritik dan arsip dokumenter Indonesia. Tahun ini, FFD akan digelar pada 9-14 Desember 2013 di beberapa ruang, antara lain : Taman Budaya Yogyakarta, Rumah Budaya Tembi, Dream Light, dan Studio XXI Yogyakarta.

Kompetisi Dokumenter indonesiaFFD, setiap tahunnya membuka program

Kompetisi Dokumenter Indonesia yang hanya diikuti oleh pembuat film Indonesia. Program ini secara spesifik membuka semua pembuat film dokumenter Indonesia untuk berpartisipasi dalam medan kritik

FESTiVAL

Banyak orang menyimpan memori di kepalanya tentang film dokumenter, beberapa diantaranya adalah siaran televisi berisi flora dan fauna, tentang audio visual penyuluhan pertanian, video panduan pembuatan produk-produk tertentu, atau film-film yang bercerita tentang kesenian daerah. Lalu, seperti apa dokumenter saat ini? Bagaimana perkembangan dokumenter Indonesia? Bagaimana bentuknya? Apa saja isinya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab pada pelaksanaan Festival Film Dokumenter yang keduabelas ini.

Festival Film Dokumenter 2013: Ajang pembuktian Sineas Dokumenter indonesia

Film-film ini akan dinilai oleh 3 juri pada masing-masing kategori. Juri-juri ini dipilih dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan untuk memunculkan kritik yang lebih dalam terhadap dokumenter Indonesia. Juri-juri tahun ini adalah sebagai berikut :

Juri Final Kategori Dokumenter Panjang1. Riri Riza

(Pembuat Film)2. John Badalu

(Pegiat film dan festival)3. Hariadi Saptono

(Jurnalis)

Juri Final Kategori Dokumenter Pendek1. Ifa Isfansyah

(Pembuat Film)2. Vivian Idris

(Pegiat film)3. Adrian Jonathan Pasaribu

(Kritikus Film)

Juri Film Kategori Dokumenter Pelajar1. Lulu Ratna

(Programer Festival)2. Kuntz Agus

(Pembuat Film)3. Ag. Prih Adiartanto

(Guru SMA)

film terbaik kategori Pelajar adalah Kampung Tudung (Yuni etifah, 15 min).

Film ini berhasil menyampaikan informasi secara runut dan detail. Selain itu teknis eksekusi disajikan dengan rapi sehingga pesan film tersampaikan dengan jelas. Kemasan film ini mampu membuat objek yang sederhana menjadi lebih bermakna. Karena itu, para juri memutuskan bahwa film Kampung TUdung sebagai Pemenang di Kategori Dokumenter Pelajar, Kompetisi Festival Film Dokumenter 2013.

Penghargaan Special mention, film terpilih adalah film Ksatria Sembrani (festian febriani, 25 min).

Film ini memiliki kekayaan peristiwa yang hanya bisa diciptakan melalui proses yang tekun dan intens. Pembuat film dekan dengan subyek, sehingga penonton merasa tidak berja-rak dengan apa yang disampaikan. Karena itu, dewan juri sangat menghargai kerja keras dan proses pembuatan film ini dengan memberikan penghargaan Special Mention.

film Terbaik Kategori Dokumenter Pendek adalah The flaneurs #3 (aryo Danusiri, 4 min)

“Film ini memang pendek, tapi pemikiran-nya harus panjang”, begitu kesepakatan para dewan juri. Film The Flaneurs #3 karya Aryo Danusiri ini terbilang singkat, hanya 4 menit.

Namun lewat 4 menit tersebut pemikiran serta maksud dari film ini bisa tersampaikan. Kare-nanya, meskipun film ini pendek – dan bahkan terpendek dari film-film nominasi Kateogori Dokumenter Pendek – kedalamannya tetap tercapai. Oleh karena itu, pantaslah film ini meraih juara Kompetisi Dokumenter Pendek, Kompetisi Festival Film Dokumenter 2013.

film Terbaik Kategori Dokumenter Panjang adalah anak Sabiran, Di Balik Cahaya gemerlapan (Sang arsip) – Hafiz rancajale, 160 min.

Film ini merupakan sebuah potret yang intim dan puitis dari seorang tokoh, yang menembus batas film dokumenter biografi pada umumnya. Film ini berhasil mengungkap banyak mitologi penting dari sejarah Indonesia. Dengan posisi dialog yang sejajar antara pembuat dengan subyeknya, film biografi ini kemudian men-jadi sebuah studi yang cantik tentang dunia sinematografi Indonesia.

Penghargaan Special mention kategori Dokumenter Panjang adalah Dibalik frekuensi (Ucu agustin, 144 min).

Dibalik Frekuensi merupakan film dengan pesan yang sangat aktual dan kontekstual, sekaligus krusial tentang praksis media massa dan jurnalisme di Indonesia. Film ini merupa-kan peringatan keras tentang praktek politik di balik bisnis media massa, dari mata seorang ibu yang berada dalam pusarannya. Film ini mem-buka mata dengan ketrampilan menggunakan bahasa film yang efektif.

film favorit Penonton pada festival film Dokumenter 2013 adalah Begini Lho, ed! karya Lasja f. Susatyo dan alit amba (41 min).

dokumenter. Tahun ini FFD menerima 95 dokumenter dari seluruh Indonesia. Terjadi peningkatan jumlah yang cukup signifikan pada tahun ini. Rata-rata setiap tahunnya, terdapat 60 film pendaftar program Kompetisi Dokumenter Indonesia. Dari 95 dokumenter yang masuk, FFD memilih 19 film finalis dari proses Penjurian Madya. Film-film kemudian akan memalui penjurian Final yang akan memilih satu film terbaik dari tiap kategorinya.

Berikut ini adalah film-film finalis Program Festival Film Dokumenter Indonesia 2013 dari tiga kategori. Untuk kategori dokumenter panjang, nominasinya seperti Children of a Nation, karya Sakti Parantean (84 min), Setelah 15 Tahun…, karya Tino Saroengallo (93 min), Anak Sabiran, Dibalik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip), karya Hafiz Ranjacale (160 min), Begini lho, Ed!, karya Lasja F. Susatyo dan Alit Amba (41 min), serta Di Balik Frekuensi, karya Ucu Agustin (144 min).

Untuk kategori dokumenter pendek, film-film finalis terdiri dari 400Words, karya Ismail Basbeth (13 min), INTIONG (India-Tionghoa), karya Gabriella Dhillon (7 min), Show Must Go On, karya Diyah Verakandhi (27 min), Berteman Dengan Perbedaan, karya Budiyanto (21 min), Merah Itu Berani, karya Mazda Radita Roromari (12 min), Farewell My School, karya Ucu Agustin (13 min), dan The Flaneurs #3, karya Aryo Danusiri (4 min)

Kemudian untuk kategori dokumenter pelajar, nominasi finalis seperti, Secarik Kisah Panyatan, karya Rizqi Pangestu (8 min), Usman Janatin, karya Doni Saputra (15 min), Kampung Tudung, karya Yuni Etifah (15 min), Rumah Industri Rully, karya Lia Budi Cahyani (9 min), Watu Bike, karya Agustinus Saputra (5 min), Masih Ada Asa, Voice of Trisma, karya Arya Artana (22 min) dan Ksatria Sembrani, karya Festian Febriani (25 min).

Page 23: Kinescope Magz Edisi 5

44 45l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l44 l Kinescope l November 2013

FESTiVAL

Berangkat dari Kota Jakarta, sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang mengurus dunia perteaterannya

dengan serius dan terpola. Hal ini dapat dilihat tidak saja dari infrastruktur yang cukup representatif, sehingga pertunjukan-pertunjukan bertaraf internasional dapat diselenggarakan di Jakarta, tetapi juga adanya pola pembinaan dan pengembangan kelompok-kelompok teater amatir yang berjalan sistematis dan berkesinambungan.

Dalam pola pembinaan kelompok teater amatir tidak saja berupa kesempatan untuk pentas di gedung-gedung pertunjukan yang mempunyai kelengkapan dasar kebutuhan panggung, pun diselenggarakannya workshop, diskusi, penyediaan materi literatur sebagai referensi, kesempatan menonton pertunjukan dari kelompok-kelompok teater profesional.

Dalam melaksanakan pola pembinaan perteateran Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta bekerja bersama-sama dengan asosiasi-asosiasi teater di lima wilayah DKI Jakarta dan didukung oleh pihak pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta menggelar Festival Teater Jakarta 2013. Tak terasa program berjenjang ini sudah memasuki penyelenggaraan yang ke 41 tahun.

Program yang diikuti oleh kelompok teater se-Jakarta ini mengusung tema “Membaca Aku, Membaca Laku” dengan sub tema “Membaca Teks”. Acara ini bertujuan untuk membaca perkembangan peta perteateran amatir di Jakarta, agar sebuah konsep yang lebih matang dapat dibuat secara bersama oleh berbagai pihak yang terlibat.

Ada 18 grup teater yang akan menjadi peserta lomba FTJ tahun ini. Mereka diwajibkan membawakan naskah pengarang asli Indonesia atau karya mereka sendiri. Selain program lomba adanya program pendamping lain seperti Diskusi Pertunjukan, Peluncuran buku terjemahan, Pemutaran

serta Diskusi Dokumentasi Video Karya Perempuan Indonesia, Workshop Kritik Teater, Koran FTJ dan Warung FTJ, serta Malam Pemberian Hadiah turut memperkaya rangkaian pada program Festival Teater Jakarta 2013.

Festival Teater Jakarta ini akan dibuka pada Minggu, 1 Desember 2013. Pada 2-10 Desember 2013 menjadi hari penyelenggaraan lomba dan kegiatan-kegiatan lainnya dan penutupan serta pengumuman pemenang lomba diadakan pada 11 Desember 2013. Tempat pelaksanaan

acara di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki.

Sejarah festival Teater JakartaFestival Teater Jakarta (FTJ) pada awalnya

bernama Festival Teater Remaja Jakarta, dikonsep oleh (alm) Bapak Wahyu Sihombing yang ketika itu menjadi anggota Komite Teater - Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan mulai dilaksanakan sebagai program DKJ sejak 1973. Pada mulanya FTJ dilaksanakan sebagai sasaran pembinaan kelompok-kelopok teater, karena pada masa itu tidak banyak kelompok teater yang dianggap profesional di Jakarta, sehingga tidak banyak pertunjukan teater yang dapat diagendakan tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang didirikan pada 1968 itu.

Sejak 2006, FTJ melakukan pembenahan diri dengan perbaikan pada sistem dan mekanisme pelaksanaannya. FTJ menjadi program berjenjang –karena dilaksanakan mulai dari babak penyisihan tingkat wilayah kota administrasi sampai babak finalnya di tingkat provinsi DKI Jakarta.

Festival teater jakarta 2013MeMbACA teKS

Dunia teater terus berkembang di Indonesia. Hal itu terlihat dengan

semakin banyaknya jadwal pertunjukan teater di sejumlah pusat kebudayaan. Contohnya, teater berjudul “IBU” yang

baru saja selesai dipentaskan oleh Teater Koma beberapa hari lalu di

Graha Bhakti Budaya, TIM.

44 l Kinescope l Desember 2013

Page 24: Kinescope Magz Edisi 5

46 47l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2013 telah dilaksanakan sejak tanggal 29 November-7 Desember 2013. Rangkaian program yang dilaksanakan di antaranya adalah Open Air Cinema, Asian Feature, Light of Asia, Special Screening yang berhasil menampilkan 14 film Asia. Pemutaran film tersebut cukup diminati oleh publik, mengingat hampir 50% dari total pemutaran full house oleh penonton, seperti film Miracle Cell No.7 dari Korea

dan Film Jalanan dari Indonesia, yang kehadirannya cukup ditunggu.

FESTiVAL

Kebangkitan Sineas Muda

Berdasarkan data panitia JAFF, jumlah penonton yang hadir selama perhelatan mencapai

5400 orang. Film-film Korea mendapat tanggapan positif karena dinilai mampu memberi kesegaran melalui ide-ide cerita yang sangat menghibur. Diskusi dengan film-maker setelah screening diadakan sebagai upaya untuk mengakomodir pertanyaan-pertanyaan agar dijawab langsung oleh pembuatnya.

Program Special Screening “Ngerjain Film Teman” merupakan program pertama JAFF, yang di dalamnya trerdiri dari 6 sutradara muda yang saling bertukar naskah film untuk diproduksi dan ditayangkan di JAFF 2013. Pemutaran 6 film dalam satu kompilasi tersebut mampu menarik perhatian penonton. Sistem donasi yang tahun ini dibuat ternyata mendapat tanggapan yang cukup positif. Penonton telah mau ikut berpartisipasi hingga tanggal 6 Desember 2013, jumlah total donasi yang terkumpul dari tiket adalah Rp. 8,400,000.

Selain program film screening, juga diakan program public lecture yang bekerjasama dengan Yayasan Denny J.A dan Biennale Jogya, yaitu kuliah singkat terbuka dimana para peserta dapat berdiskusi dan mendengarkan sekaligus melakukan tanya jawab dengan pembicara, yang merupakan orang-orang yang memang ahli di bidangnya.

Terkait dengan festivalnya sendiri, para juri menentukan pemenang yang mewakili setiap seksi dan kategori kompetisi. Juri-juri dalam pelaksanaan JAFF 2013 ini di antaranya, Hassan Abd Muthalib (Malaysia), Hikmat

Darmawan dan Jajang C. Noer (Indonesia) sebagai Juri Netpac. U-Wei bin Haji Saari (Malaysia), Stanley Kwak (Korea), JB kristanto (Indonesia) sebagai juri JAFF. Tetsuaki Matsue (Jepang), Prisia Nasution dan Arie Syarif (Indonesia) merupakan juri dari kategori The Light of Asia dan Juri kategori Komunitas yaitu Bowo Leksono, Novi Hanabi dan Wibowo Surya Adhy, semuanya dari Indonesia.

Terkait dengan penilaian para juri terhadap film-film yang berhasil memenangkan beberapa kategori Festival, misalnya film Television. Film ini dianggap mampu mengangkat permasalahan fundametalisme dengan mengemasnya secara komedi. Sedangkan Denok & Gareng adalah film yang sutradaranya mempunyai kedekatan yang erat dengan subyek-subyeknya, sehingga berhasil menangkap momen-momen intim dalam keseharian para subyek tersebut. Denok & Gareng adalah sebuah film dengan pendekatan dokumenter yang jujur mengenai suatu keluarga yang terpinggirkan yang juga memberi komentar secara halus mengenai proses kehidupan komunitas, negara dan agama.

Film At The Last Stop Called Ghost Chimney dinilai memiliki penanaman cerita yang baik, pengambilan gambar yang efektif dan film ini dianggap mampu menggabungkan sebuah

mitos dan realitas yang sejalan. Film ini juga dianggap mampu membuat penonton yang tidak terlalu akrab dengan mitos ini namun tetap merasa dekat. Sebuah film yang mampu bertutur dan menjadi sebuah bahasa yang universal.

Lalu penilaian untuk Film Jalanan, karena dalam film ini terdapat sebuah kedewasaan dalam sistem produksinya dari proses pra produksi, perijinan dan konsistensi karakter yang cukup baik meski menghabiskan waktu yang tidak sebentar dalam proses pembuatannya, yaitu kurang lebih 6 tahun. Sedangkan untuk film Rocket Rain, dinilai mampu menampilkan sebuah cerita yang digarap dengan unsur fun yang berbeda. Sehingga cerita sederhana sehari-hari ini bisa digarap dengan treatment yang di luar pakemnya.

Acara penganugerahaan pemenang dalam ajang 8th Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2013 dilaksanakan tanggal 7 Desember di pelataran Studio XXI Urip Sumoharjo, Jogyakarta. Acara tersebut dihadiri oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan Prof Ir Wiendu Nuryanti M.Arch PhD, tokoh senior perfilman Indonesia, Christine hakim, yang pernah penerima penghargaan Life Time Achievement Award di pelaksanaan JAFF pada tahun kedua, dan Direktur Pusat Kebudayaan Korea di Indonesia, Kim Young-sun. Di samping itu, para dewan juri baik lokal maupun internasional, tamu-tamu undangan, para praktisi film,sineas-sineas muda dan komunitas, serta jurnalis dari berbagai media.

Berikut Jenis kategori dan pemenangnya dari hasil penjurian :1. Golden Hanoman: Television

(Mustofa Sarwar Faaroki-Bangladesh)

2. Silver Hanoman: Denok & Gareng (Dwi Sujanti Nugraheni-Indonesia)

3. Blencong Award: At The Last Stop Called Ghost Chimney (Tetsuya Tomina-Jepang)

4. Geber Award: Rocket Rain (Anggun Priambodi-Indonesia)

5. Netpac Award: Denok & Gareng (Dwi Sujanti Nugraheni-Indonesia)

6. Special Mention Award - Light of Asia Competition: Sepatu Baru (Aditya Ahmad-Indonesia).

7. Special Mention Award - for Geber Award: Jalanan (Daniel Ziv-Indonesia)

Demi menjawab kelangkaan film-film berkualitas dari wilyah timur Indonesia, Makassar Film Festival digelar perdana di tahun berangka “ajaib”, 2013. Ide dicetuskannya blueprint gelaran ini berawal dari penelusuran bahwa belum ada festival yang dapat mengapresiasi karya-karya dari sineas muda di kawasan Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.

Suara dari Timur Bisa dibilang hanya dua kota, Makassar

dan Palu yang beberapa tahun terakhir aktif melakukan produksi film pendek.

Sementara di daerah lain, masih juga sulit terdengar suaranya. Mirisnya, karya-karya dari dua kota tersebut belumlah diberi apresiasi oleh tetangga sendiri, sudahpun berlaga di daerah lain hingga ke kelas internasional dan nyaris sedikit dari orang timur yang tahu kabarnya.

Menariknya, meskipun wadah apresiasi cenderung kurang, komunitas-komunitas film dengan antusias bermunculan bak berudu di musim hujan. Mereka seolah tidak peduli ada atau tidaknya alat yang dapat memperdengarkan suara mereka ke seantero Indonesia. Tujuan utama festival ini adalah menemukan dan memperdengarkan suara-suara itu. Dan setelah lama berbincang, kedua founder Makassar Film Festival, Ichwan Persada dan Rezkiyah Saleh Tjako dari komunitas Findie Makassar, dengan mantap memutuskan untuk menyelenggarakan kegiatan perdana Festival ini dengan tema “Berlayar ke Ujung Pandang”.

“Makassar Film Festival direncanakan untuk digelar setiap tahun, di setiap ulang tahun kota Makassar pada 9 November. Namun karena sejumlah kendala, membuat untuk penyelenggaraan yang pertama kali harus kami undur ke awal Desember. Semoga selanjutnya bisa berjalan lancar dan diadakan setiap awal November, “ ujar Rezkiyah Saleh Tjako selaku Direktur Festival.

Dalam kemunculan perdananya, ditambah dengan permasalahan klasik industri kreatif di negara ini, yaitu kekurangan dana, maka festival perdana ini fokus pada eksibisi dan edukasi. Program utama Makassar Film Festival tiap tahunnya adalah festival “Suara dari Timur”. Program ini mengurasi dan memutar film-film pendek yang murni diproduksi oleh sineas-sineas dari Timur Indonesia.

Makassar Film Festival (MFF) 2013 diselenggarakan pada 7-8 Desember 2013 di deLuna Resto & Cafe dan WoodsyGab Food Court selama dua hari berturut-turut. Festival digelar mulai pukul 09.00 wita setiap paginya, hingga pukul 22.00 wita.

Di sisi edukasi, MFF juga menggelar mini-workshop How to be A Good Film Producer dan Movie Soundtrack, bersama musisi muda, Nadya Fathirah. Ada pula Pameran Foto Makassar Tempo Doeloe di tiap-tiap

makassar Film Festival 2013:

venue kegiatan. “Harapan saya, MFF tahun ini berjalan sesuai rencana dan tujuannya. Bisa jadi penyemangat untuk film enthusiast, khususnya di Makassar dan jadi lebih menghargai budaya sendiri. Tahun depan, kami berharap dapat mengadakan kompetisi dan mengadakan Phinisi Awards 2014,” terang direktur festival, Rezkiyah Saleh Tjako.

Di tahun pertama Makassar Film Festival, belum diadakan kompetisi film sebagaimana laiknya sejumlah festival lain

di Indonesia. “Kami memang terkendala persoalan klasik festival, yaitu pembiayaan dan waktu. Karenanya, agar bisa maksimal, kami sepakat untuk tahun pertama meniadakannya dulu. Insya Allah tahun kedua sudah akan mulai dilaksanakan kompetisi, terutama film pendek, “ sambung Rezkiyah.

Salah satu highlight dari Makassar Film Festival adalah program “Suara Dari Timur”. Program ini mencari dan memutar film dari Indonesia Timur. “Karena Makassar dianggap sebagai kota utama di Indonesia Timur, maka sewajarnya jika kami berfokus pada film yang dihasilkan sineas di wilayah itu. Maka program ini akan menjadi menu utama kami setiap tahunnya,” jelas Ichwan Persada selaku penggagas program “Suara Dari Timur”.

Yang menarik dari Makassar Film Festival adalah bahwa penyelenggaraan festivalnya murni diadakan oleh anak muda Makassar yang tergabung di sejumlah komunitas film. Mereka pun aktif mencari dana secara independen untuk penyelenggaraan festival. Makassar Film Festival disokong oleh empat orang Dewan Pembina, yakni Ichwan Persada (produser film/creativepreneur,

yang baru saja menyelesaikan tugas sebagai Ketua Tim Ahli Apresiasi Film Indonesia 2013), Firman Baso (praktisi komunikasi dari iSee Production yang juga baru saja menyelesaikan tugas sebagai Ketua Panitia Pelaksana Apresiasi Film Indonesia 2013), Sunarti Sain (jurnalis senior yang beraktifitas sehari-hari sebagai Pemimpin Redaksi Harian Radar Selatan) dan Iko MD (program director sekaligus music director senior dari Madama Makassar).

Page 25: Kinescope Magz Edisi 5

48 49l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

FESTiVAL

Di Indonesia pemutaran ini digelar di 20 kota yaitu: Aceh, Ambon, Bali, Bandung, Bogor, Jayapura, Makassar, Malang,

Medan, Palembang, Palu, Pontianak, Salatiga, Samarinda, Soe, Solo, Surabaya, Tomohon, dan Yogyakarta. SFF tahun ini memutar 18 film dari Eropa dan Asia Tenggara. Satu diantaranya adalah film animasi dari Indonesia berjudul “Petualangan Banyu & Elektra Menyalakan Kota”. Film berdurasi 10 menit ini merupakan satu-satunya film Indonesia yang diputar di ajang ini.

“Petualangan Banyu & Elektra Menyalakan Kota” yang digarap oleh Greeneration & Sahabat Kota ini merupakan karya animasi tentang petualangan Banyu dan sahabatnya, Elektra. Kota tempat Banyu tinggal sering mengalami pemadaman listrik. Dengan bantuan Ion, mereka mengeksplorasi sumber energi baru untuk mencukupi kebutuhan listrik di kota tempat mereka tinggal. Banyu dan Elektra harus terbang ke permukaan kota untuk mematikan peralatan elektronik yang tidak penting. Dengan film ini diharapkan anak-anak akan semakin sadar akan perlunya hemat energi, dan sadar akan lingkungan sekitar.

Di Jakarta, Science Film Festival Indonesia 2013 dibuka pada (14/11) lalu di Blitzmegaplex Grand Indonesia, Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh lebih 500 anak, dan juga turut hadir wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ibu Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch.,Ph.D. Sedangkan di Yogyakarta, pembukaan SFF 2013 digelar di Royal Ambarrukmo Hotel Yogyakarta, Kamis (21/11). Sebanyak 500 siswa Sekolah Dasar yang terdiri dari SD Ambarukmo, SD Nogopuro, dan SD Caturtunggal meramaikan pembukaan festival tersebut. Selain pemutaran film, para siswa tersebut juga mengikuti lomba menggambar bertema energi.

Di Yogyakarta, pemutaran film yang telah

dikurasi dari berbagai negara ini digelar Jumat, (22/11) di Santika Premiere Hotel dan Institut Francais d’Indonesie (IFI) Yogyakarta, Sanggar Anak Alam, dan Balaikota Yogyakarta. Semua pemutaran diselenggarakan secara gratis, dan terdiri dari dua sesi, mulai pagi hingga siang hari.

Festival ini pertama kali diselenggarakan di Thailand pada tahun 2005, dan kemudian dikembangkan ke Kamboja, Indonesia, Yordania, Laos, Myanmar, Palestina, Filipina, Uni Emirat Arab, dan Vietnam. Pada masing-masing negara dilakukan kerjasama dengan mitra-mitra lokal.

SFF merupakan perayaan pendidikan sains dan menempati posisi unik di Asia Tenggara, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Festival ini mendukung literasi sains dan kesadaran akan isu-isu ilmu pengetahuan, teknologi, dan lingkungan.

Verena Lehmkuhl selaku koordinator Culture & Development in South East Asia, Goethe Institut berujar bahwa pelaksanaan SFF 2013 di Yogyakarta lebih dari yang

dibayangkannya. Sebagai kota pelajar, antusias anak-anak yang datang sangat tinggi. “Atmosfirnya sangat baik, bisa dilihat anak- menyukainya, di Yogya persiapannya juga lebih profesional, oleh karenanya banyak anak-anak yang ikut,” ujarnya.

SFF pertama kali digelar di Indonesia pada 2010, dan sejak itu terus berkembang. Tahun ini, tema utama yang adalah “Energi dan Keberlanjutan”. Hal ini dipilih sebagai tantangan global yang besar dewasa ini. Di Yogyakarta, pelaksanaan SFF dilakukan oleh Paguyuban Dimas Diajeng Jogja.

Menurut Kharisma Creativani, selaku Project Relation SFF Yogyakarta 2013, melalui SFF ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kecil dalam membangkitkan kesadaran di antara anak-anak, dan remaja mengenai betapa pentingnya topik energi bagi masa depan planet kita, dan betapa penting Sains bagi pendidikan mereka.

Selain sebagai hiburan, film adalah medium yang sangat baik untuk pendidikan. Tahun ini film-film yang memaparkan isu-isu ilmu pengetahuan, dan difokuskan kepada anak-anak berusia 9-14 tahun kembali hadir lewat Science Film Festival (SFF) 2013.

Science Film Festival 2013

Rian Samin (Pemerhati Budaya, Tinggal & Bekerja di Yogyakarta)

Page 26: Kinescope Magz Edisi 5

50 51l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Bakat dan kreativitas anak merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Anak dalam usia produktif milai mencari sesuatu yang bermanfaat dan menjadi ketertarikan mereka. Teori memang dirasakan belum cukup.

Film Indonesia Pertama Oleh Anak Dan Untuk Anak Indonesia: “1000 Balon”

Oleh karena itu, Mondelez Indonesia yang dulu dikenal sebagai Kraft Foods Indonesia melalui brand Biskuat

kembali mengambil bagian dalam upaya mengasah perkembangan anak Indonesia melalui program “Biskuat Kreasi Semangat”. Program yhang bertujuan meningkatkan bakat anak Indonesia yang telah berlangsung sejak tahun 2009 lalu, dilanjutkan dengan program pembuatan film oleh dan untuk anak Indonesia, yang kini hadir dengan film bertajuk “1000 Balon”.

Proses audisi yang dilakukan di 7 kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Medan, Makassar, Palembang , Surabaya dan Semarang berlangsung selama bulan Mei 2013, di mana proses tersebut dilakukan melalui 3 cara, yaitu online, audisi langsung dan pengiriman karya melalui CD.

Dari 6620 partisipan yang melakukan pendaftaran di 7 kota tersebut, kemudian dis-aring menjadi 50 pemenang program Biskuat Kreasi Semangat ini. Anak-anak tersebut terdiri dari anak dengan rentang usia 7 sam-pai 13 tahun, yang masing-masing memiliki peminatan sebagai berikut: 6 orang penata artistik, 3 orang juru kamera, 11 sutradara, 16 aktor/aktris, 4 orang penata musik, 1 orang penulis naskah, 4 orang penata kostum dan 5 orang komposer yang kemudian dili-batkan sebagai pelaksana proses pembuatan film “1000 Balon“ tersebut.

Pada bulan Juni 2013, dalam proses pembuatan film “1000 Balon” tersebut, ke-50 anak tersebut memperoleh kesem-patan emas untuk menuangkan kreativitas dan merasakan pengalaman mereka sebagai sutradara, penata kamera, penata artistik,

penata kostum, penuilis naskah, komposer musik serta aktor/aktris. Tidak hanya itu, mentor yang ahli di bidangnya juga tu-rut membantu proses pembelajaran dan pembuatan film tersebut, sehingga mereka mampu menyalurkan bakatnya dengan baik dan terarah.

Dalam proses pembuatan Film “1000 balon” ini, anak-anak yanbg lolos audisi tersebut didampingi dan dilatih oleh para mentor senior yang memiliki pengalaman di bidangnya masing-masing, seperti sutradara Ardy Octaviand, Jujuk sebagai pelatih akting, Agung Dewantoro pelatih Juru kamera, Adrian Martadinata Penata musik, Trisia Mawarti penata busana, Wencislaus untuk Art dan Ilya Sigma sebagai mentor penulis naskah. Film ini didukung pula oleh 21 pemain pendukung un-tuk peran orang dewasa seperti Joko Anwar, Denny Sumargo, Lembu club80’s dan lainnya.

Film “1000 Balon” yang merupakan bentuk perwujudan kreatifitas anak-anak ini, merupakan bukti betapa berbakatnya anak-anak Indonesia. Film ini juga diharapkan dapat menginspirasi banyak anak Indonesia untuk terus mengasah hal yang mereka cintai,

sehingga bakat mereka semakin berkembang.

Sinopsis film “1000 Balon”.Film ini bercerita tentang masa liburan 5 sa-

habat yang berubah menjadi sebuah petualan-gan, di mana mereka mencoba memecahkan misteri harta karun dengan menerbangkan 1000 balon permohonan. Resti, Alvin, Junot, Melodi dan DIta adalah lima sahabat dengan karakter dan semangat yang berbeda-beda. Resti yang di-juluki “Si Detektif” karena hobi membaca komik detektif dan suka memecahkan masalah. Alvin “Si Gadget Freak” yang punya cita-cita menjadi sutradara terkenal. Junot adalah anak betawi kaya raya yang cita-citanya menjadi penyanyi hip hop. Melodi dan Dita adalah anak kembar den-gan sifat bertolak belakang. Melodi hobi dandan dan bercita-cita menjadi fashion designer, sedangkan Dita sangat cuek, tapi memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi dan menyukai olah-raga bela diri. Di kantin sekolah, kelima sahabat ini merencanakan liburan mereka ke villa milik Junot.

Liburan telah tiba, Resti menjadi satu-satun-ya yang merasa sedih karena rencana perceraian orangtuanya. Saat dia berangkat liburan, orang

tuanya tidak ada dirumah. Di Villa, Dita melihat Resti mebawa balon permohonan, yaitu per-mainan yang biasanya dimainkan bersama ayah dan ibunya. Saat malam tiba, Alvin bercerita tentang misteri harta karun yang tersebunyi di hutan di dekat villa Junot. Kedatangan ayah Ju-not mempertajam rasa sedih Resti akan kondisi keluarganya. Ia pun memilih kabur ke hutan.

Keesokan harinya, teman-temannya menyadari hilangnya Resti dan mulai melakukan pencarian. Pencarian ini pun berubah menjadi petualangan memburu harta karun, ketika Resti menemukan kotak berisi kode rahasia. Keberadaan dua penjahat di tengah hutan, membuat petualangan Resti dan teman- teman-nya semakin menegangkan.

Keesokan harinya, Resti berhasil ditemukan dan kelima sahabat ini pun mencari tempat yang tinggi dan meniup sebanyak-banyaknya balon permohonan untuk memberikan petunjuk ke-pada orang tua mereka. Kedua penjahat berhasil dilumpuhkan dengan kecerdikan anak-anak tersebut. Saat kembali ke villa, mereka disambut lega oleh orang tua mereka. Pengalaman di villa tersebut membuat mereka makin semangat mengejar mimpinya masing-masing.

Page 27: Kinescope Magz Edisi 5

52 53l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

FESTiVAL

Jogja Cinephilia 2013 adalah program yang di gagas Jogja Film Academy sebagai ruang apresiasi bagi film-film yang lahir di ruang akademis, baik sekolah film, fakultas/jurusan film ataupun komunitas produksi yang berada di bawah institusi

pendidikan.

Pembuat Film Harus Sekolah

Pada ajang ini diputar film-film terbaik perwakilan dari setiap institusi pendidikan film tersebut. Menurut

Ifa Isfansyah, Director Jogja Cinephilia sekaligus penggagas Jogja Film Academy, saat ini sekolah film yang digagas oleh kreator-kreator profesional menjadi tuntutan yang sangat wajar. Untuk itu para kreator yang telah mengalami perjalanan dan pendidikan kreatif ingin menularkan ilmunya lewat sekolah.

Pada diskusi bertema “Pembuat Film harus sekolah!” bertindak sebagai pembicara adalah Ina Ariyanto (Universitas Media

Nusantara), Ari Syarif (SAE Institute), Tunggul Banjaransari, dan dipandu oleh Seno Aji Julius. Ari Syarif menjelaskan bahwa pada pembuatan film ada tahap-tahapannya, banyak ilmu yang tidak bisa dipelajari di lapangan, namun melalui teori sekolah atau kampus film. “Kampus adalah jembatan untuk menuju profesionalisme. Yang paling penting adalah pembentukan karakter didalam pendidikan kampus,” ujar Head Of Film Departemen SAE Institute ini.

Sedangkan Ina Ariyanto bicara lebih tegas akan pentingnya pembuat film untuk sekolah. Kemampuan pembuat film akan melebihi

seorang sarjana apabila memiliki self drive yang kuat. Ia menambahkan bagi sekolah film juga tidak boleh asal-asalan membuat kurikulum. “Berawal dari mendengar industri, industri meminta tenaga kerja yang seperti apa lalu kita turuti untuk membuat kurikulum tersebut,” ujarnya.

Ina menjelaskan bahwa bidang film itu luas, tidak hanya melulu masalah produksi, namun ada kritik film, sejarah film, riset, dan lainnya yang wajib diperlukan. Semua itu, lanjutnya, bisa dirangkum di dalam pendidikan kampus.

Sedangkan Tunggul membeberkan

jogja Cinephilia 2013

bagaimana sekolah-sekolah film di Indonesia sudah ada sejak lama, namun produk-produk yang dihasilkan belumlah konkrit. “Tidak ada perbedaan antar pembuat film yang sekolah, dan pembuat film yang tidak sekolah. Kurikulum-kurikulum saat ini hanya mempelajari teknis,” tegasnya.

Program Kompetisi merupakan program utama yang memilih film-film pendek terbaik dari siswa-siswa terbaik sekolah film untuk dikompetisikan.Kampus-kampus yang mempunyai jurusan sinema mengirimkan satu pilihan terbaiknya untuk. Juri berdebat secara terbuka dan memutuskan pemenang di hadapan para penonton setelah film selesai diputar. Juri: Ella Arlika (Radio DJ), Kiki Pea (Wartawan), dan Erix Soekamti (musisi), penjurian ini dipandu oleh Seno Aji Julius.

Setelah melalui perdebatan panjang dan sengit, pemenang dari Film Kompetisi adalah ‘Di Ujung Jalan’ karya Yudha Aditya dari SAE Institute. Film berdurasi 10 menit ini mengisahkan seorang pemulung tua yang tanpa sengaja menemukan mobil kosong yang terbengkalai, di dalam mobil tersebut

juga terdapat amplop berisi uang, handphone, dan sebuah jas. Pemulung tua itu kemudian mengakhiri penantian panjangnya di ujung jalan.

Menurut Kiki Pea menggunakan nama Cinephilia adalah hal yang cukup berat dan tidak main-main. Ia menjelaskan bahwa Cinephilia berarti penggila film, seseorang yang hidupnya untuk film, bahkan rela tidak makan demi film, dan mengukur kompetisi secara cinephilia, harus jauh lebih kritis, baik segi estetika, dan konten, “Semuanya berkaitan, terutama bagaimana eksperimentasi dalam medium film,” ujarnta.

Bagi Wartawan yang juga sesekali bermain musik Rockabilly bersama Kiki & The Klan ini, film adalah karya kebudayaan, dan memuat hal yang sastra, “menonton film gak perlu digamblangin, nggak semua bisa terdeskripsikan, nggak semua puisi bisa dijabarkan dengan gamblang,” ucapnya.

Ia memberikan penilaian sebagaimana keselarasan sebagaimana mendengarkan musik, tidak boleh ada nada yang terdengar tidak enak ditelinga. “Film yang baik adalah bagaimana memecahkan persoalan isi dengan

bahasa film,” lanjutnya.Para juri yang terdiri

dari berbagai latar belakang ini, tentunya mempunyai pandangan dan perspektif yang berbeda dalam memaknai karya film. Setelah melalui perdebatan sengit, akhirnya film ‘Cita’ (karya Andi Burhamzah/Institut Kesenian Makassar) mendapatkan penghargaan khusus dari dewan Juri. Erix Soekamti mengatakan bahwa setiap melihat film, ia selalu melihat ketidaknormalannya, “saya selalu mencari kesalahan film, namun di film ‘Cita’ saya tidak menemukan kesalahan,” ujarnya.

Di Jogja Cinephilia 2013 ini juga digelar program bertajuk ‘CLASSIC’ yang merupakan pemutaran film pendek yang dibuat oleh sutradara senior pada saat mereka masih duduk di bangku sekolah. Film tersebut adalag ‘Sonata Kampung Bata’ (Riri Riza), ‘Saat Menyatakan Cinta’(Eric Gunawan), ‘Topeng Kekasih’ (Hanung Bramantyo), dan ‘Revolusi Harapan’ (Nanang Istiabudi).

Ada juga program ‘MASTERCLASS’, yaitu sesi tanya jawab dengan pembuat film yang sudah berpengalaman. Tampil sebagai pembicara adalah Faozan Rizal (Sutradara Habibie & Ainun, sinematografer Ayat-Ayat Cinta) untuk berbicara tentang Motion vs Emotion. Acara Jogja Cinephilia ini didukung oleh kerjasama Fourcolours Films, X-Code Films, Depdikbud, dan Dukung Film Pendek.

Target dari Jogja Cinephilia ini menurut Ifa Isfansyah adalah memberikan edukasi dengan membaca dan mengritisi film, baik yang datang, maupun yang tidak. Semua program yang digelar juga bisa disimak di akun Youtube Jogja Film Academy. Selaku penggagas Jogja Film Academy, Ifa mengakui bahwa sebagai sutradara, ia bukanlah termasuk yang ‘anak sekolahan’. Namun apa yang ia lihat

dari pencapaian pembuat film, khususnya di Yogyakarta adalah hal yang sangat membanggakan. Sutradara Film ‘Sang Penari’ ini menambahkan bahwa ada ketakutan hilangnya generasi yang telah melalui pencapaian tersebut. “Untuk regenerasi, maka mendirikan sekolah lah, yang paling tepat,” ungkapnya,

Setelah melakukan syuting di gedung yang terletak di Jl. Ipda Tut Harsono (Timoho) No. 26, Yogyakarta, Ifa memiliki keinginan untuk membuat sesuatu. Ketika bertemu dengan si pemilik, Ida Rochani Adi ternyata ada kesamaan mimpi dan keinginan untuk membuat institusi pendidikan, terutama Film. Kebetulan mantan dekan Sastra Universitas Gadjah Mada tersebut juga fokus pada kajian film.

Direktur X Code Film, Viko Amanda pun memiliki mimpi serupa. Ia mengatakan bahwa ketika Ifa mengajaknya mendirikan sekolah film, ia langsung menanggapinya dengan positif. “Karena sebagai kota pelajar, Yogyakarta harus jadi yang terdepan dalam pendidikan yang spesifik ke film, bukan sekedar kampus berjurusan komunikasi dan broadcast saja,” ujar produser film yang sudah malang melintang di jagad perfilman internasional ini.

Rian Samin

ContactJl. Ipda Tut Harsono (Timoho) No. 26, Yogyakarta 55165telp. +62 274 566777, +62 274 566759, fax. +62 274 555185email: [email protected]: www.jogjafilmacademy.comtwitter: @jogjafilmac

Page 28: Kinescope Magz Edisi 5

54 55l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Akhirnya tanda-tanda tersebut terjawab dengan terbentuknya Panitia Pelaksana (Panpel) FFI 2013 dan sudah bekerja. Arti-

nya pihak yang meragukan FFI bisa terwujud, serta pihak yang pesimis sebelumnya, jelas terkaget-kaget. Sebab akhirnya, acara puncak FFI 2013 diadakan di Ibukota Provinsi Jawa Tengah, 7 Desember.

Banyak acara menarik yang digelar sebelum acara puncak. Sementara Panpel juga menyiap-kan serangkaian program apresiasi ke beberapa kota di Jawa Tengah, di antara Banyumas dan Jepara yang komunitas perfilmannya di kedua kota itu demikian bergairah dalam memajukan perfilman Indonesia.

Djamaluddin Malik, seorang tokoh perfilman nasional yang merintis sekaligus pegagas FFI, diadakan pertama kali tahun 1955 dan bersifat kompetitif, pasti tidak bakal percaya bahwa sejarah FFI begitu panjang, meski perjalanannya mengalami jatuh bangun yang sejalan dengan situasi serta kondisi perfilman Indonesia.

Pada penyelenggaraan FFI 2013 saja Panpel bekerja singkat dan deadline yang mepet, sehingga terkesan terburu-buru. Seyogyanya Panpel bekerja sepanjang tahun. Usai digelar FFI, Panpel sudah siap bekerja lagi. Menyiapkan program FFI selanjutnya.

Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Sebaliknya Djamaluddin Malik, tatkala meny-elenggarakan festival pertamakali, bisa jadi tidak membentuk panitia pelaksana. Sang perintis ini yang tidak lain produser film, malah mengong-kosi sendiri, bahkan rekan kolega sesama pro-duser mencibir apa yang diperbuat Djamaluddin Malik sewaktu menggelar festival film.

Namun semua itu bermula dari niat . Djamaluddin membuat festival film untuk upaya menarik perhatian masyarakat bahwa film Indonesia tidak kalah baiknya dengan film asing. Tentu hal ini niat yang gagah. Kata lain niat yang menumbuhkan apresiasi terhadap film Indonesia.

Bagaimanapun momentum yang tepat, dan mesti digenggam oleh insan perfilman pada saat itu, yaitu tahun 1955 yang baru sepuluh tahun Indonesia merdeka. Niat lain yang digulirkan Djamaluddin Malik ialah festival film itu sebagai peristiwa budaya. Artinya untuk evaluasi film produksi dalam negeri selama satu tahun.

Tetapi yang lebih penting festival film tahun 1955 adalah dijadikan forum pertemuan antara pembuat dan penonton film, sekaligus forum penilaian mengenai kualitas teknis penggara-pan serta penyajian atas karya film. Pada tahun 1955, jumlah produksi mencapai 65 judul film. Tahun 1954 berjumlah 60 judul film. Hasil festival film 1955?

Penyelenggara festival film tahun 1955 ter-kesan hanya sekadar bagi-bagi piala. Karena ter-dapat dua peraih terbaik, masing-masing untuk aktor-aktris utama dan aktor-aktris pembantu. Sedangkan film terbaik diraih Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail. Lantas sutradara terbaik disabet Lilik Sudjio (Tarmina).

Bagi-bagi piala itu berlanjut pada festival film tahun 1960. Kebijakan bagi-bagi piala sem-

pat menjadi polemik. Namun harap maklum, semuanya itu akhirnya dianggap sah-sah saja saat itu, karena pelaksanaan dan pendanaan festival film itu sepenuhnya tersembur dari seorang, yakni Djamaluddin Malik.

Usai menyelenggarakan festival film 1955, tahun berikutnya Djamaluddin Malik tidak men-gadakan festival. Selama tiga tahun, tepatnya tahun 1956 hingga tahun 1959 tidak ada lagi festival film. Tahun 1960 baru ada festival film, diselenggarakan di Jakarta, 21 -25 Februari, film terbaiknya adalah Turang disutradarai Bachtiar Siagian yang juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik.

Selesai festival film 1960, tahun berikutnya tak ada lagi festival. Barulah pada bulan Agustus 1967, diadakan Pekan Apresiasi Film Nasional, sebagai nama lain dari FFI ketiga setelah 1955 dan 1960. Pekan Apresiasi Film Nasional 1967 diadakan di Jakarta, 9-16 Agustus, yang tidak ada film terbaik. Sutradara terbaik jatuh pada Misbach Y.Biran (Dibalik Tjahaya Gemerlapan). Untuk pemeran utama pria ialah Sukarno M.Noor dan pemeran utama wanita yaitu Mieke Wijaya (Gadis Kerudung Putih).

Beberapa kali penyelenggaraan FFI vakum. Hal ini diakibatkan oleh kondisi politik yang ti-dak menentu pada saat itu. Penyelenggaraan FFI baik pada tahun 1955, 1960 hingga tahun 1967 yang dinamakan Pekan Apresiasi Film Nasional, kerap disebut pemerhati film sebagai Pra-FFI.

Antara tahun 1970 sampai 1975 ada festival terbatas berupa Pemilihan Best Actor/Actress yang diselenggarakan oleh PWI Jaya Seksi Film. Kegiatan ini memang akhirnya tersaingi oleh masyarakat film yang dikelola oleh Yayasan Nasional Film Indonesia (YFI), dan mendapat dukungan oleh Departemen Penerangan (Dep-pen), yang pada waktu itu merupakan institusi pembina perfilman nasional.

YFI mengadakan festival film tahun 1973, yang seterusnya disebut FFI, dengan menobat-kan Perkawinan karya Wim Umboh, meraih pula piala untuk sutradara terbaik. Di satu sisi, pemilihan Best Actor/Actris versi wartawan di-hentikan pada tahun 1975, dan terintegrasi dengan YFI.

Pada sisi lain, Departemen Penerangan memprakarsai dibentuknya Dewan Film Nasi-onal. Maka melalui lembaga ini, pelaksanaan FFI tahun 1981 yang dilakukan YFI dilebur dan pada tahun 1982 penyelenggaraan FFI sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film Nasional. Sejak saat itu pula, penyelenggaraan FFI berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, misalnya diadakan di Medan tahun 1983. Tahun berikutnya di Yogya-karta, di Bandung dan pada tahun 1986 kegiatan dipusatkan di Jakarta, hanya puncak acara di Denpasar. Patut dicatat, penyelenggaraan FFI di daerah dimaksudkan untuk mendekatkan diri antara artis film dengan masyarakat penonton-nya.

Semula banyak pihak, terutama dari insan perfilman, merasa ketar-ketir apakah tahun 2013 Festival Film Indonesia atau lebih dikenal dengan nama FFI akan diadakan, mengingat sampai bulan Agustus belum terdapat tanda-tanda persiapan. Walaupun sejumlah media sudah merilis, bahwa FFI 2013 bakal di selenggarakan di Semarang.

Sejarah Festival Film Indonesia:

SyamSUdin noeR moenadi

Merajut Pertemuan Pembuat Dan

Penonton Film

*Penulis adalah jurnalis, pemerhati film, yang saat ini menangani bidang Humas,

Publikasi dan Dokumentasi FFI 2013Sumber: http://festivalfilmindonesia.co

54 l Kinescope l Desember 2013

Page 29: Kinescope Magz Edisi 5

56 57l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 2013

film terbaikSang Kiai

Sutradara terbaikRako Prijanto

Sang Kiai

Pemeran Pendukung PriaAdipati Dolken

Sang Kiai

aktor terbaikReza Rahadian Habibie & Ainun

aktris terbaikAdinia Wirasti

Laura & Marsha

Pemeran Pendukung wanitaJajang C Noer

Cinta Tapi Beda

Penata artistik terbaik Iqbal Marjono - BelengguPenyunting gambar terbaik Cesa David Lukmansyah - RectoversoPenata musik terbaik Aksan Sjuman - BelengguPenata busana terbaik Retno Ratih Damayanti - Habibie & AinunFilm Pendek terbaik Simanggale - Donni - FFTV IKJFilm animasi Pendek terbaik Sang Suporter - W Darmawan - Pink BluesPenata Suara terbaik Hikmawan Santosa M Ikhsan, Yusuf A Pattawari Sang KiaiPengarah Sinematografi terbaik Yudi Datau - 5 CMPenulis Skenario terbaik Ginatri S Noer & Ifan Ardiansyah Ismail Habibie & AinunPenulis Cerita asli terbaik Anggoro Taronto - Sang PialangFilm Dokumenter Panjang terbaik Denok dan Gareng Dwi Susanti NugraheniFilm Dokumenter Pendek terbaik Split Mind - Nia Sari - FFTV IKJ

56 57l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 30: Kinescope Magz Edisi 5

58 59l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

bEHiNd THE SCENE

COMIC 8Film COMIC 8 yg ber-genre ACTION-COMEDY ini bercerita tentang delapan anak muda dari berbagai macam background dan kisah hidup masing-masing, yang secara kebetulan merampok sebuah bank dalam waktu bersamaan.

Terdiri dari 8 Stand Up Comedian yang masing-masing membawa character yang unik ke dalam cerita, serta masing-

masing mempunyai alasan dan motif yang berbeda-beda. Ada yang merampok karena Galau dan gagal Cinta, ada yang merampok karena membutuhkan uang untuk biaya kuliah, ada yang untuk menghidupi panti asuhan dan rakyat miskin, ada yang karena keluarganya disandera, ada yang karena iseng dan adrenaline sport dan bermacam-macam.

Cerita pun berkembang dari perampokan yang awalnya terlihat seperti kebetulan yang aneh, terkepung oleh pasukan polisi dengan AKP nya yang super cantik, sampai akhirnya mereka harus menemukan jawaban dari teka teki yang ada dan mencari jalan keluar terbaik untuk semua.

Situasi yang tidak lazim dan twist-twist Unpredictable dari seorang mastermind intelegent, membawa kelucuan dan kebodoran tingkat tinggi yang pastinya akan mengocok perut penonton

Dibintangi 8 Stand Up Comedian yg sedang HITS sekarang ini, yaitu : Mongol, Mudy Tailor, Ernest, Kemal, Bintang, Fico, Babe & Arie Kriting, serta didukung belasan ARTIS lainnya spt : Indro WARKOP, Coboy Junior, Pandji Pragiwaksono, Nikita Mirzani, Cak Lontong, Jeremy Teti, Boy William, Agus Kuncoro, Laila Sari, Joe P Project, Henky Solaiman, Kiki Fatmala, Ence Bagus, Ge Pamungkas, Agung Hercules, Novi Amalia, Candil, dll.

Page 31: Kinescope Magz Edisi 5

60 61l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

dOKUMENTEr

nominator Di 10th Dubai international film festival 2013Pada perayaan 10 tahun Festival Film Dubai yang diselenggarakan pada 6-14 Desember 2013 di Dubai, Arab Saudi, film feature dokumenter “Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip)” yang disutradarai oleh Hafiz Rancajale dan berkolaborasi dengan almarhum Misbach Yusa Biran, masuk sebagai nominator untuk Kategori Muhr Asia Africa Documentary, bersama sembilan film dari Asia dan Afrika lainnya seperti dari Singapura, Afrika Selatan, Jepang, India, dan Korea Selatan.

Sebagai seniman kontemporer, karya-karya Otty Widasari yang terangkum dalam bentuk tulisan, video, maupun film dokumenter berangkat dari pengalamannya mengamati keseharian orang-orang, dan lingkungan di sekitarnya. Pada karyanya yang dipamerkan di Biennale Jogja XII yang mengangkat tema kawasan Equator, terutama hubungan Indonesia dengan negara-negara Arab, Otty mengangkat persoalan hubungan sosial yang memberikan karakter dan identitas tertentu pada sebuah ruang.

Film berdurasi 155 menit yang ditayangkan perdana pada 29 Maret 2013 lalu, sebagai salah satu program peringatan Hari

Film Nasional di Graha Bakti Budaya, Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki, akan ditayangkan pada 11 dan 12 Desember 2013 ini di Vox Cinemas, Mall of the Emirates (MOE). Dua orang perwakilan dari Forum Lenteng, yaitu Hafiz Rancajale selaku sutradara dan Syaiful Anwar sebagai salah satu kolaborator sekaligus Juru Tata Kamera, datang untuk menghadiri penayangan dan sebagai perwakilan dari Indonesia.

Selain film “Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip)”, terdapat satu film pendek Indonesia yang juga masuk sebagai nominator pada kategori Muhr Asia Afrika Short, yaitu film “Halaman Belakang” yang disutradarai oleh Yusuf Radjamuda. Film ini pada 4 November 2013 lalu mendapatkan penghargaan Apresiasi Film Pendek dalam Apresiasi Film Indonesia 2013.

Sebagai salah satu festival film terbesar di Asia, pada usia satu dekade, Dubai International Film Festival 2013 akan menghadirkan 16 kategori kompetisi dari 56 negara untuk semua kategori. Mulai film fiksi, dokumenter, film khusus anak-anak, hingga penayangan khusus film-film dari Timur Tengah, seperti Jazirah Arab dan Iraq.

Film “Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip)” ini adalah sebuah film yang mencoba membaca gagasan pengarsipan film yang ada di dalam pikiran Misbach Yusa Biran sebagai seorang tokoh yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengawetkan wacana dan memaknainya kembali sebagai sumber sejarah perfilman Indonesia yang disimpannya di Sinematek Indonesia. Film ini kemudian menelusuri jejak-jejak ‘pengetahuan’ dari Sang Arsip yang memutuskan berhenti menjadi sutradara dan memilih menjadi pengarsip film.

Melalui pemikirannya tersebut, lahirlah Sinematek Indonesia yang menjadi pusat pengarsipan film pertama dan terbesar di Asia Tenggara. Kehadiran Sinematek Indonesia tidak bisa dilihat hanya sebagai sebuah ruang

penyimpanan artefak-artefak bersejarah, tetapi juga sebagai ruang pengawetan sejarah gagasan dan wacana sinema Indonesia. Namun, situasi Sinematek Indonesia yang semakin memburuk, telah mengancam artefak-artefak sejarah gagasan dan wacana kepada hal yang paling mengerikan dalam peradaban manusia, punahnya sejarah pengetahuan.

Hafiz Rancajale sendiri adalah koordinator Forum Lenteng, yaitu sebuah lembaga studi media non-profit yang bekerja

mengembangkan penggunaan media sebagai alat pembelajaran. Forum ini didirikan oleh seniman, penulis, periset dan mahasiswa komunikasi pada tahun 2003. Kerja Forum Lenteng berupa produksi film dokumenter, film eksperimental, seni video, ataupun film fiksi. Juga penulisan kritik seni dan film, serta penelitian sejarah media dan workshop pemberdayaan komunitas di berbagai daerah di Indonesia.

Anak Sabiran, Di balik Cahaya Gemerlapan

(Sang Arsip)

video “Jabbal hadroh, Jabbal al Jannah” Karya otty Widasari

Karya berjudul “Jabbal Hadroh, Jabbal al Jannah” ini adalah sebuah video berdurasi 10 menit, dan dipamerkan di lantai

dua Jogja National Museum (JNM). Video ini bercerita tentang sebuah desa di Bogor, Jawa Barat di mana para pelancong dari Kawasan Arab yang kebanyakan dari Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, dan Qatar biasa berkunjung dan berlibur.

Menurut perempuan yang juga pendiri Forum Lenteng ini, sejak dibanjiri oleh pelancong-pelancong Arab, arsitektur kampung tersebut ikut berubah menjadi kearab-araban. Di dana banyak warung itu menjual kebutuhan khusus pelancong Arab, mulai makanan khas Arab, penukaran mata uang, tembakau impor dari Kawasan Arab. Otty menjelaskan bahwa pergeseran budaya tersebut terjadi setelah Perang Irak. Berbagai gejolak politik dan ekonomi yang terjadi setelah krisis moneter Asia pada 1997, hingga Reformasi 1998 di Indonesia juga berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi di sana.

Ada dua konteks dalam karya ini, pertama konten video yang merupakan sebuah puisi perempuan timur, yang tidak bisa berjalan sendirian secara sistemik. “Suatu ketika perempuan juga ingin berjalan sendirian, walau cuma menikmati kebebasan untuk mandi,” ujarnya.

Hal ini bisa dilihat pada bagian akhir karyanya, dimana seorang perempuan berjilbab menikmati mandi di air terjun. Semua

bingkaian yang ada dikemas melalui medium video dengan pendekatan dokumenter, sinema dengan bahasa puisi. Konteks ke dua adalah dengan melihat latar belakang Otty yang selain pembuat film dokumenter, juga aktif menulis. Sebelumnya Otty sempat bekerja sebagai jurnalis surat kabar di Jakarta.

Secara estetika, belakangan ini Otty selalu memanfaatkan kamera ponselnya untuk berkarya. Hal ini juga dilatari karena sejak 2008 ia fokus menjadi aktivis pemberdayaan media oleh warga yang berbasis komunitas. Sebagai seniman ia menggunakan medium yang persebarannya massif di masyarakat, “seni itu tidak eksklusif, tidak agung, dan tidak sulit dimengerti oleh masyarakat, dan seni eksis di kepala siapa saja,” tegas ibu satu anak ini.

Baginya ide Biennale Jogja XII tentang equator sangat menarik. Ini merupakan cara sederhana dan penting untuk melihat peran Indonesia di wilayah global. “Secara politis itu penting, sebaran karyanya pun menarik, sangat berbeda dengan Biennale Jakarta,” ujar Otty.

Beberapa minggu sebelum pembukaan Biennale Jogja, Otty juga berpartisipasi untuk Jakarta Biennale. Bersama akumassa, proyek yang dibidaninya ia mengerjakan sebuah proyek bertajuk ‘akumassa ad hoc’. Para proyek ini para anggota komunitas dari berbagai daerah diundang ke Jakarta untuk melihat kota tersebut melalui perspektif pendatang, sebagaimana sejarahnya Jakarta dibangun oleh pendatang.

Akumassa adalah proyek yang basis kerjanya berada di wilayah media, yang dilihat dan dibaca secara lintas disiplin, satu di antaranya adalah lewat seni rupa. Pada 2010 lalu, Otty diundang untuk memberikan lecture di kalangan seni rupa tentang community development di Samuso Art Museum di Seoul, Korea Selatan. Pada 2011 akumassa menggelar pameran tunggalnya di Free Gallery Toronto, Kanada.

Rian Samin (Pemerhati Budaya, Tinggal & Bekerja di Yogyakarta)

Page 32: Kinescope Magz Edisi 5

62 63l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

FESTiVALLiPUTAN

Komunitas Gudang Film bersama dengan Kinescope Magz, mengadakan nonton bareng Film “Adriana”yang diadakan pada hari senin 11 November 2013 di Planet Hollywod, Jakarta. Film “Adriana” ini memiliki unsur sejarah Kota Jakarta yang cukup menarik untuk dinikmati. Pada acara tersebut, Eva Celia, sebagai pemeran utama film “Adriana” juga turut hadir dan dengan ramah menyapa 35 orang peserta nobar. Tidak lupa, para peserta yang hadir mendapatkan majalah Kinescope edisi ke-3.

Nonton bareng bersama para pemain, sutradara dan produser film King OF Rock City juga dilkukan oleh Komunitas Gudang Film dan Kinescope pada hari sabtu, 30 November 2013 di Blitzmegaplex Grand Indonesia. Film ini bercerita tentang realita kehidupan dengan sangat jujur, sederhana dan menggelitik. Para pemain film “King of Rock City” yang hadir dalam acara tersebut antara lain, Iwa K, Derry Neo dan Tya Arifin, untuk menonton bersama para tamu undangan. Pada acara tersebut seluruh pesertapun mendapat majalah Kinescope edisi ke-4.

nonton bareng: film Adriana nonton bareng: film King of rock City

Page 33: Kinescope Magz Edisi 5

64 65l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

FESTiVALLiPUTAN

MiSbAr Kineforum:

Upaya kreatif Ciptakan Ruang alternatif

Untuk film indonesiaKonstruksi bangunan Kineforum MISBAR

ini dirancang sedemikian rupa oleh dua arsitek, Melissa Liando (Indonesia) dan

Laszlo Csutoras (Hungaria), dan berusaha mengadaptasi konsep menonton layar tancap. Layar tancap sendiri pernah menjadi popular di tahun 70-80an sebagai hiburan rakyat, tetapi kini mulai jarang ditemukan.

Kineforum MISBAR tidak hanya menjadi media nostalgik tentang layar tancap, tetapi juga ditujukan untuk memberikan alternatif ruang dan pengalaman menonton bagi publik Jakarta, sesuai kegiatan Kineforum selama ini. Selain itu, Kineforum MISBAR merupakan salah satu siasat untuk membawa film ke ten-gah warga. sesuai tema Jakarta Biennale 2013 tahun ini, “Siasat”.

“Kineforum MISBAR hadir sebagai tang-gapan atas kurangnya bioskop untuk rakyat.” ujar Sugar Nadia, Manajer Kineforum, dalam pengantar acara.

Kineforum MISBAR berukuran 40m x 16 , dengan kapasitas 150-200 orang, serta didukung sistem audio-visual yang mumpuni. Bangunan Kineforum Misbar dibuat menggu-nakan material terjangkau dan dapat digunak-an kembali setelah akhir pertunjukan. Struktur yang digunakan adalah sistem pipa scaffolding sewaan yang fleksibel dan memungkinkan perakitan yang cepat, kemudian dilapisi bahan-bahan sederhana lainnya.

“Sebagai arsitek, kami berdua memiliki ket-ertarikan khusus untuk menciptakan arsitektur yang dipadukan dengan agenda sosial. Desain kami pada dasarnya memadukan prinsip mis-bar (gerimis bubar) dengan bioskop modern.” ujar kedua arsitek dalam pengantar kegiatan.

Kurator Adrian Jonathan dan Mahardhika Yudha memilih film-film Indonesia dari ber-bagai era. Mulai dari film Apa jang Kau Tjari, Palupi? (1969), Kejarlah Daku Kau Kutangkap dan Nagabonar dari era tahun 80-an, sampai film Rumah Dara yang diproduksi pada tahun 2000 ke atas.

“Film-film yang diputar adalah hasil dari serangkaian siasat dengan berbagai pertim-bangan, termasuk kualitas tayang dan paling kentara tentunya adalah tema siasat sejarah, sejumlah film popular dari berbagai zaman. Be-berapa merupakan cerita ringan tentang upaya warga menyiasati kehidupan ibukota. Pun ada dua film yang merupakan siasat sekelompok anak muda untuk membaca lingkungannya lewat sinema.” ujar kedua kurator dalam pengantar program.

Penayangan film Indo-nesia ini diharapkan bisa kembali mendekatkan film Indonesia dengan masyara-katnya. Penayangan film berlangsung tiap pukul 19.00 dan 21.00 dan khusus hari Jumat dan Sabtu, ada pemu-taran tengah malam yang

dimulai pukul 00.00. Kineforum MISBAR dibuka dengan film Apa

jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1969). Pada 12 Desember 2013, Kineforum MISBAR juga menjadi tempat peluncuran film hasil restorasi Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950) oleh Ke-mentrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kedua acara khusus tersebut hanya untuk undangan, tetapi diputar untuk umum di hari lain. Selain dua kegiatan tersebut, penay-angan film-film di Kineforum MISBAR terbuka untuk publik dan gratis.

mengenai KinefOrUm Kineforum adalah bioskop pertama di

Jakarta yang menawarkan ragam program meliputi film klasik Indonesia dan karya para pembuat film kontemporer. Ruang pemutaran, yang tidak bertujuan utama mencari keuntun-gan finansial ini, dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan para relawan muda, serta bekerja sama dengan Cinema 21/XXI.

Ruang ini diadakan sebagai tanggapan terhadap ketiadaan bioskop non-komersial di Jakarta dan kebutuhan pengadaan suatu ruang bagi pertukaran antar budaya melalui karya audio-visual. Dengan kapasitas 45 kursi, Kineforum menjadi ruang eksibisi dan dialog bagi para pembuat film dan penonton Jakarta. Program-program film Kineforum bertujuan mengajak penonton merasakan jadi bagian dari sinema dunia, dulu dan sekarang.

Film-film yang diputar selama Kineforum MISBAR:

Apa jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1969) Pengemis dan Tukang Becak (Wim Umboh, 1979)Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2011) Janji Joni (Joko Anwar, 2005) Belkibolang (Omnibus, 2010)

Rumah Dara (Mo Brothers, 2010) Ambisi (Nya Abbas Akup, 1973) Naga Bonar (MT Risyaf, 1986)Sinema Purnama (Omnibus, 2012) Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam, 1985)

Badut-Badut Kota (Ucik Supra, 1993) Bibir Mer (Arifin C. Noer, 1991) Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950)

Kineforum Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), bekerjasama dengan Jakarta Biennale 2013, menyelenggarakan Kineforum MISBAR, sebuah bioskop temporer dengan desain kontemporer di ruang terbuka, yang memutar film-film Indonesia klasik maupun kini.

Acara yang didukung Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta ini berlangsung pada 10-16 Desember 2013, di Lapangan Futsal MONAS.

64 l Kinescope l Desember 2013

Page 34: Kinescope Magz Edisi 5

66 67l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

PrOFiLE

Tidak ada konser yang tidak sukses, dimana ada pria kelahiran Jakarta, 7 Oktober 1959 ini. Pertunjukan akbarnya

selalu berhasil dengan baik dan sukses menyedot penonton. Tak heran bila dentum-dentum alunan musik tersebut menyelimuti rasa haru dan kegembiraan khalayak yang langsung menyaksikan konsernya. Prestasi nasional dan internasional diraihnya. Tidak sedikit penyanyi yang berhasil ia poles. Sebut saja Vina Panduwinata, Harvey Malaiholo, Utha Likumahua, Chrisye (alm), hingga penyanyi mancanegara seperti Ciani dari Amerika Serikat. Iya, karirnya tak diragukan.

Berkaitan dengan ini, sang musisi yang konsentrasi di jenis musik klasik ini, menyampaikan pesan terhadap pemerintah Indonesia saat ini. Secara gamblang dan tegas, ia bercerita, pemerintah Indonesia layu, tidak ada perhatian terhadap musik klasik. Jauh berbeda jika diperbandingkan dengan perkembangan musik klasik yang ada diluar negeri, Singapura, Malaysia, misalnya.

Di negara-negara tersebut, mereka mempunyai gedung konser untuk mempersembahkan musik ini, tetapi di Indonesia tidak ada gedung khusus untuk memanjakan musik klasik. “Bagaimana ingin maju musik klasik, pemerintah saja tidak ada perhatiannya. Padahal saya sudah menyampaikan langsung ke Megawati Soekarno Putri, yang ketika itu menjabat sebagai Presiden. Hasilnya tetap nol hingga sekarang,” tegas bapak yang mempunyai dua buah hati, Kevin Aprilio dan Tristan Juliano.

Terjun ke Dunia OrchestraJika melihat ke belakang, kesuksesan

yang diraih oleh Addie MS bukan hal yang diberikan oleh Dewa dari langit. Keberhasilan dan kebanggaan yang di dapatkannya kini merupakan buah dari hasil kerja kerasnya yang penuh lika-liku. Menurutnya, perbedaan jaman dahulu dengan jaman sekarang sangat terlihat perbedaannya. Misalnya, dahulu musik sangat mengganggu aktifitas orangtua, berbeda dengan sekarang, musik suatu kebutuhan industri. Misalnya, banyak orangtua yang mendaftarkan anaknya ke idola cilik, lembaga-lembaga kursus musik dan sebagainya.

Menurutnya, jaman dahulu tidak seperti ini, jadi penyanyi dan menjadi kaya tidak bisa. Apalagi musisi, lebih-lebih yang bergelut di bidang musik seni orchestra, lebih menakutkan.

“Tak heran, orangtua saya dan orangtua pada umumnya berkeberatan putranya menekuni bidang seni musik klasik. Harus kuliah, apakah itu ekonomi, psikologi dan

bentaR kURniawan

kiprahnya sukses di kancah musik indonesia sebagai seorang pianis, pencipta lagu, komposer, arranger, produser musik,

konduktor dan juga sebagai seorang Direktur twilite orchestra. ia adalah addie muljadi

Sumaatmadja. Pria berusia 54 tahun ini sukses berkarir secara otodidak. pemerintah layu

terhadap Musik Klasik

Addie Muljadi Sumaatmadja: jurusan lain. Saya harus melawan nilai yang membekas pada orangtua saat itu. Untungnya orangtua saya mempunyai anak 8 bersaudara. Saya merupakan anak ketiga. Mungkin saja beliau sangat permissive, untuk yang satu ini, lain jika saya anak tunggal, yang kemungkinan bisa berantem,” kenangnya.

Kakak dan adiknya dianggap sukses semua. Ada yang menjadi dokter, ekonom dan arsitek. Hanya satu putra yang tidak menentu arahnya, yakni dirinya. Ia tidak gentar melihat 7 saudaranya sukses. Ia membuat perjanjian dengan orangtuanya selepaslulus dari SMA 3, Jakarta. “Saya tidak mau minta uang dari ayah dan mama. Saya hanya menumpang tidur dan makan di rumah orangtua. Perjanjian dengan orangtua ini saya jalani hingga sekarang. Berbeda dengan adik dan kakak saya, yang ketika itu dimanja, diberikan motor dan fasilitas-fasilitas lainnya,” kenangnya lagi.

Diakui olehnya, masa muda adalah masa emosi yang bergejolak. Dari sikap yang acuh hingga sikap yang keterlaluan. Mungkin sikap itulah yang membuatnya dapat mencapai cita-cita. Dalam situasi yang tidak ringan itu, Addie ditawari rekaman album Vina Panduwinata untuk pertama kalinya. Ketika itu kegilaannya mucul kembali. Ia ingin rekaman ini memakai orkes Filipina. Tawaran dan gagasan yang sangat bagus ini ditertawakan oleh seniornya, Pance F Pondang dan Rinto Harahap.

Karena tekadnya kuat untuk menuju sukses, lagi-lagi Addie mengucapkan janji, dirinya tidak menerima upah dan bayarannya itu akan dialokasikan untuk membayar orkes Filipina yang digunakan. Mengurus, membuat janji dengan sang maestro orkes yang berasal dari Filipina, ia jalani sendiri. Pulang dari pengurusan tersebut, ia semakin miskin secara materi dan semakin bingung bagaimana bisa mendapatkan penghasilan. Dilalahnya, album Vina Panduwinata meledak ketika itu.

Sejak itulah, gagasan dan idenya mulai diperhitungkan. Ia mulai diberikan honor untuk dirinya dan honor untuk membayar orkes. “Saya yakin ketika itu semuanya butuh pembuktian. Bersyukur skenario saya sesuai dengan yang diharapkan. Mulailah para seniman yang lain meminta ditambah dengan orchestra. Saat itulah orchestra saya melejit di dunia musik,” ucap Addie.

mengharapkan Hadiah CerutuDi balik kerja kerasnya yang makin menggila

dan makin sibuk ini, hanya satu harapan yang akan diraihnya, rokok cerutu. Memang heran, dengan nama besar Addie MS yang sukses, dirinya hanya mengharapkan cerutu. Menurutnya, rutinitasnya ia lakukan teratur. Dari pagi ia bergulat di bidang seni klasik, orchestra yang dibinanya sudah sibuk dengan kegiatan jadwal demi jadwal yang selalu ia selesaikan dengan baik. Ia mempunyai kebiasaan yang tidak boleh di tinggalkan, baginya harus dan wajib ia jalankan, apa itu? Menghisap cerutu pada pukul 16.00 WIB.

“Dimana pun saya berada, tiba waktunya pukul empat sore, saya harus membakar ujung cerutu dan menghisap serta menikmati indahnya merokok. Bagi saya banyak

kenikmatan yang saya rasakan. Pertama, cerutu sebagai hadiah pekerjaan yang saya jalankan dari pagi sampai sore. Pekerjaan harus diselesaikan tuntas demi mendapatkan kenikmatan cerutu di pukul 4 sore itu. Bagi saya, menyalakan cerutu adalah kenikmatan sendiri. Dan terakhir, ketika saya menikmati cerutu kurang lebih dua jam, saya sangat merasakan indahnya dunia dan melepas semua kepenatan rutinitas,” ungkap Addie.

musik Seni, musik industri dan Twilite Orchestra

Menurut Addie, demikian nama panggilannya, di negeri tercinta ini terdapat dua jenis musik, musik seni dan musik industri. Yang tergolong musik seni yaitu jazz, karawitan dan klasik. Lain dengan musik industri, seperti pop, dangdut dan rock serta countri. Musik seni dapat ‘berkembangbiak’ dan sangat survive. Sedangkan musik industri melibatkan dana yang sangat besar. Tanpa adanya dukungan dan fasilitas pemerintah, musik industri akan berjalan meningkat dan makin maju. “99% isinya musik industri jika kita nonton televisi,” ucap Addie.

Berbeda dengan musik seni yang mempunyai berbagai kendala. Musik ini harus mendapatkan dukungan pemerintah. Tanpa dukungan tidak akan hidup, mati suri. Mungkin saja dapat berjalan di daerah-daerah, tetapi tidak akan istimewa dan besar apalagi menjadi aset nasional.

Jika melihat perkembangan di negara tetangga, Singapura, konser ini dapat menjadi sumber devisa negara. Terbukti dengan banyaknya penonton, lokal maupun asing pada setiap pertunjukkannya. Dengan begitu, mereka dapat mendatangkan agen-agen orchestra kelas dunia. Yang menarik, para punggawa orchestra Singapura menolak bermain di Indonesia. Alasannya hanya satu, tidak ada konser hall.

Ia mengakui di dalam pembuatan konser hall memang memakan biaya yang sangat mahal, harus berada di tengah-tengah jantung kota. Tidak boleh di pinggir kota, apalagi di desa. Halaman parkirnya harus luas, belum lagi harus tersedianya desain acoustic yang baik. Maka itu, menurutnya, persoalan ini membutuhkan campur tangan pemerintah.

“Di mata saya yang bodoh ini, Indonesia masih membangun fisik, ekonomi. Tidak membangun kebudayaannya. Kesenian datangnya dari kelas bawah. Ketika seni sudah melambung, ketika itu juga seni diberangus. Saya teringat ketika jaman Soeharto,

teater terbuka TIM diratakan, yang saat itu dipergunakan WS Rendra untuk memberikan retorika. Kesimpulannya, kegiatan kesenian yang massal-massal ditiadakan ketika itu,” katanya.

Addie MS adalah salah satu pendiri Twilite Orchestra (TO), sebuah grup Orchestra yang sangat berpengaruh di Indonesia dan memiliki prestasi besar baik lokal maupun internasional. Di TO, Addie menjalani perannya sebagai Direktur Musik sekaligus Konduktor. Menurut Addie, TO bisa menciptakan kekhususan sendiri bagi penontonnya. TO selalu berupaya keras untuk menampilkan musik-musik berkualitas pada standar presentasi yang sebaik-baiknya bagi pendengar yang sangat luas. Dengan demikian akan membantu meningkatkan apresiasi masyarakat pada musik berkualitas, melalui penampilan di hadapan khalayak, baik di gedung pertunjukan maupun di Universitas-universitas.

Lalu, siapa saja segmentasi penggemar musik klasik ini? Menurut pria yang mendapatkan penghargaan tiga Golden Trophy BASF Award sebagai penata musik terbaik, dua Golden Records untuk album Vina Panduwinata, dua Silver Records untuk album Chrisye, Orkestrator dalam album Dream Suite, yang menjadi nominasi dalam Grammy Awards ke-38 ini, persembahan TO tidak hanya dinikmati oleh kalangan menengah dan menengah ke atas. Pertunjukan yang menghabiskan waktu kurang lebih satu setengah jam, dapat dirasakan alunan musiknya oleh kalangan akademi, siswa sekolah hingga masyarakat umum dan mungkin saja suatu saat, dapat tampil di tengah pusat perbelanjaan atau mall.

“Kehadiran Twilite Orchestra untuk menepis anggapan masyarakat umum bahwa orkestra adalah barang tua dan tidak cukup trendy untuk bersaing dengan musik industri yang trendy di jaman sekarang. Twilite Orchestra memang diharapkan dapat membuka halaman baru dalam dunia hiburan di Indonesia. Yang paling penting, Twilite Orchestra dapat menjadi katalis dalam menciptakan minat di kalangan generasi muda terhadap instrumen akustik,” ucapnya yang pernah mengikuti pendidikan Recording Engineering di Chilicothe, Ohio, Amerika Serikat dan Conducting Master-class di Los Angeles, Amerika Serikat.

66 67l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 35: Kinescope Magz Edisi 5

68 69l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

MUSiC

Itu sebagian kutipan lagu hits KLa Proj-ect, Terpuruk Ku Di Sini. Setelah 25 tahun melanglangbuana di dunia musik Indonesia,

lagu-lagunya masih menjadi favorit di kalangan perindu musik hingga sekarang ini. Tidak terasa grop musik ini sudah berusia seperempat abad. Ternyata sangat simpel untuk mempertahank-annya, musisi yang akan bertahan adalah mu-sisi yang bisa berkreasi dengan situasi yang ada di sekitarnya. “Kami selalu berusaha menampil-kan sesuatu yang baru, yang benar-benar diinginkan oleh masyarakat, bukan hanya diinginkan oleh KLa Project,” ungkap Katon.

KLa Project memang terlihat terus beruu-paya untuk melakukan inovasi dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Meski lagu-lagunya kebanyakan bertema cinta klasik, KLa Project membungkusnya dengan aranse-men musik-musik terbaru. Iya, bagaikan fash-ion, contohnya. Grup musik ini tidak mungkin tampil dengan fashion seperti 10 tahun lalu. Karena itulah mereka selalu menyesuaikan

dengan apa yang sedang in dan mana yang harus out. Inilah kunci suksesnya.

ratusan PenggemarKonser bertajuk Grand KLakustik The

Celebration of KLa Projects 25 th Anniversary, dilaksanakan bulan November 2013 lalu di JCC. Kehadirannya disambut oleh ratusan pengge-marnya. Gerimis adalah lagu pembuka konser tersebut. Bagi Katon konser ini merupakan hari yang istimewa. Di konser tersebut mereka mendendangkan 20 lagu yang di iringi oleh orchestra yang terdiri dari 36 personel. Konser yang diadakan di JCC ini juga menjadi penanda bahwa KLa Project menjadi satu-satunya musisi Indonesia yang menggelar konser tunggal di JCC sebanyak empat kali.

Sebelum menggelar konser Grand KLAkustik The Celebration of KLa Projects 25 th Anniver-sary, pada 23 Agustus 2013, KLa Project juga telah menggelar konser bertema KLa Project 25 Years: The Glamorous Electronic Journey, di Ten-

Group musik era tahun 1990 an ini sudah berusia 25 tahun. Tepat di hari bahagianya itu, KLa Project memanjakan fansnya. Kelompok musik asal Indonesia yang diprakarsai oleh Katon Bagaskara, Lilo (Romulo Radjadin), Adi Adrian, dan Ari Burhani pada tahun 1988 ini mempersembahkan lagu handalannya di Jakarta Covention Center (JCC), beberapa waktu silam. Terbukti KLa Project masih eksis. Lalu, bagaimanakah mereka mempertahankan kelompok musiknya ini?

25 tahun Kla project ‘Mendentum’ Jakarta

bentaR kURniawan

nis Indoor Senayan.

Lika Liku KLa ProjectNama KLa sendiri diperoleh dari inisial perso-

nel band ini, sementara penggunaan huruf “A” kecil bertujuan untuk menandakan adanya dua personel yang memiliki inisial huruf tersebut. KLa dibentuk oleh Katon, Lilo, Adi, dan Ari pada tahun 1988 di daerah Tebet, Jakarta Selatan.

Mereka merilis album pertamanya “KLa” pada tahun 1989 yang mencetak hits seperti Rentang Asmara, Tentang Kita, Waktu Tersisa, dan Laguku. Pada tahun 1991, KLa meluncurkan album keduanya bertajuk “Kedua” di mana terdapat lagu monumental Yogyakarta. Semen-tara album ketiga (Pasir Putih-1992) mereka mencetak hits seperti Tak Bisa Ke Lain Hati dan Belahan Jiwa. Alhasil, nama KLa Project booming di blantika musik Indonesia. Group musisi ini berhasil mencuri hati banyak pendengar musik. Mereka memiliki basis penggemar yang mena-makan diri KLanis.

Setelah peluncuran album ketiga, Ari Burhani keluar dan beralih peran sebagai manajer band. KLa kemudian berjalan dengan formasi tiga orang dan menetaskan dua album, Ungu (1994) dan V (1995). Pada tahun 1996, KLa Project menggelar konser akustik akbar bertajuk KLakus-tik yang melibatkan musisi pendukung seperti Hendri Lamiri (Violin), Budi Haryono (Drums), dan lain-lain. Konser tersebut direkam secara live dan dirilis dalam bentuk album rekaman 2 jilid.

Singkatnya Maret 2001, Lilo mengundurkan diri dari band ini. Namun KLa tetap berjalan terus walau hanya menyisakan Katon dan Adi. Dua tahun berikutnya, KLa memutuskan untuk menambah tiga orang personil baru, Erwin Prasetya ex Dewa 19, Yoel Vai dan Hari Goro. Akhirnya mereka berganti nama menjadi NuKLa. Jika tidak salah, NuKLA sempat ‘menelurkan’ album di tahun 2004, “New Chapter” dengan single Izinkan Ku Memuja.

Dua tahun berikutnya, 2006, giliran Erwin Prasetya memutuskan keluar dari NuKLa. Ala-sannya hanya karena berbeda visi. Kemudian, tidak lama dari itu, Katon menyatakan bahwa NuKLa berganti nama kembali menjadi KLa Proj-ect. Kenapa? Menurutnya, sulitnya mengubah citra KLa yang lama menjadi baru. Walaupun mereka sudah berpisah, Katon dan Lilo di Tahun 2009 melakukan reuni. Reuni ini menghasilkan karya album KLa Returns yang beranggotakan tiga anggota awal mereka yakni, Katon, Lilo, dan Adi.

Beberapa anggota KLa Project juga berkarier solo. Katon telah merilis enam album, Adi mencetak dua album, dan Lilo baru satu album. Pada tahun 2010, mereka kembali meluncurkan album yang berjudul Exelentia dan menjagokan single berjudul Hidup Adalah Pilihan dengan 2 pemain tambahan.

Pada tanggal 8 November 2011, KLa Project kembali merilis album yang berjudul A Tribute To KLa Project dengan menampilkan penyanyi dan grup band yang terlibat dalam album tersebut seperti Ungu, Ahmad Dhani, Kerispatih, Maliq & D’Essentials, Vidi Aldiano, Pongki Barata, RAN, Babas, Violet, dan The Upstairs.

“setetes embun di daun lambang bergulir ketika jatuh ke tanah terserap musnah begitu pun hatiku di ayun bimbang jawabmu terhempas dan hampa tak terkira….”

Page 36: Kinescope Magz Edisi 5

70 71l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

aLbUm StUdio1989 - KLa1990 - Kedua1992 - Pasir Putih1993 - Ungu1995 - Kelima1996 - KLakustik1997 - Sintesa1999 - Klasik2010 - Exellentia

DISKOGRAFIKLa Project

ko

mP

ila

Si19

92 -

Bes

t Cut

s19

98 -

Dek

ade

(198

8 -

1998

)20

01 -

The

Bes

t Of

2008

- K

La R

etur

ns20

11 -

A T

ribu

te T

o K

La P

roje

ct20

13 -

Gre

ates

t Hits

PenghaRgaan yang DiRaih kla Project• Penghargaan BASF Award 1991

untuk kategori Lagu Terbaik untuk lagu “Yogyakarta”

• Penghargaan BASF Award 1991 untuk kategori Aransemen Terbaik untuk lagu “Yogyakarta”

• Penghargaan BASF Award 1991 untuk kategori Pop Techno Terbaik untuk lagu “Yogyakarta”

• Penghargaan BASF Award 1992 untuk kategori Pop Kontemporer Terbaik

• Penghargaan BASF Award 1994 untuk kategori Lagu Terbaik untuk lagu “Terpurukku di sini”

• Penghargaan BASF Award 1994 untuk kategori Aransemen Terbaik untuk lagu “Terpurukku di sini”

• Penghargaan BASF Award 1994 untuk kategori Pop Kontemporer Terbaik untuk lagu “Terpurukku di sini”

• Penghargaan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat Bagian Musik sebagai Group Rekaman Terinovatif Tahun 1996

70 71l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 37: Kinescope Magz Edisi 5

72 73l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

MUSiC rEPOrT

Hal senada juga diungkapkan Lilo. Konsep orkestra ini adalah benang merah bagi gelaran konser yang diberi tajuk Grand

KLaKustik. Ia mengaku mendapat kepercayaan untuk menggarap aransemen orkestra untuk 5-6 lagu. Lalu, keyboardist Adi Adrian yang selama ini jadi salah satu otak bagi musik KLa Project, bertanggungjawab untuk menyulap delapan lagu KLa menjadi kemasan nan megah dalam balutan orkestra. Dalam konser itu, KLa juga menggandeng dua pentolan musik dari genre rock progresif, yakni Iwan Hasan dari Discus dan Raden Agung (Imanissimo).

Konser ini bertemakan Grand KLaKustik yang menjadi penggambaran atas totalitas pencapaian bagi band yang telah berkarya 25 tahun lamanya. Dalam konser ini, pihak KLaCorp membanderol tiket mulai dari harga Rp200 ribu sampai yang termahal Rp3,5 juta.

Leonardo & His Impeccable Six, memberikan sajian musik ala Broadway-nya usai Donny Fattah berkisah. Leonardo

membuka penampilan dengan nomor “Built To Race”, lalu disusul dengan “Swing ‘n’ Jingle”. Penonton tampak puas dengan lagu penutup yang berjudul “The Rumba”. Keenan Nasution dari Guruh Gypsi juga ikut berbagi cerita pasca Leonardo & His Impeccable Six turun panggung.

Kemudian dilanjutkan dengan penampilan White Shoes and The Couples Company (WSATCC). Paduan kostum warna warni Nona Sari dan kawan-kawan, dipadu dengan cahaya panggung yang ‘pas’ mengikuti alunan music, membuat crowd tak henti menggoyangkan tubuhnya, walau sekedar menganggukkan kepala. “Super Reuni” menjadi lagu pembuka yang dilanjutkan dengan urutan lagu “Pelan Tapi Pasti”, “Roman Picisan” dan “Today Is Not Sunda”.

WSATCC melanjutkan penampilannya dengan membawakan lagu berurutan, “Kampus Kemarau, Selangkah, Top Star, dan dua lagu terakhir yang diambil dari album Menyanyikan Lagu-Lagu daerah, Lembe-Lembe

dan Tam-Tam Buku.Joyland Festival adalah sebuah festival

yang menjadi ajang bagi beberapa band untuk memperkenalkan karyanya, jargon tersebut sepertinya dapat diamini oleh Banda Neira. Band duo yang muncul akhir 2012 ini mulai dikenal lewat media sosial. Diisi oleh Ananda Badudu dengan gitarnya dan Rara Sekar dengan xylpon-nya yang sederhana.

Di Atas Kapal Kertas adalah lagu pembukanya, Banda Neira langsung ditemani crowd yang ikut bernyanyi. Begitupun lagu selanjutnya yang juga disambut dengan karaoke masal. Untuk lagu ketiga, Rara memanggil Gardika Gigih, yakni pemain pianika band Nosstress dari Yogyakarta. Panggung akhirnya diisi tiga orang menyanyikan lagu ‘Kita’ milik Nosstress. Dan menyanyikan lagu ‘Hujan di Mimpi’ yang diambil dari album pertama mereka, yaitu Berjalan Lebih Jauh. Lagu ‘Kau Keluhkan (Esok Pasti Jumpa) menjadi penutup penampilan mereka.

Luky Annash juga mewarnai Joyland Festival 2013 dan tahun ini adalah kali kedua ia membawakan lagu-lagu liar dari debut

albumnya 180° yang rilis pada 2011. Walau beberapa orang tak tahu tentang albumnya, sound yang bulat, permainan piano yang atraktif, dan suara yang liar, menarik banyak penonton untuk menyaksikan penampilannya.

Selanjutnya di isi oleh Polka Wars. Band yang telah dikenal sejak 2010 itu memainkan sejumlah lagunya seperti, ‘Coraline’. Selanjutnya, ada Rock N Roll Mafia. Setelah membawakan tiga lagu, ‘Velvet Morning Air, Blackheart, dan Stuck and Reverse’ komposisi ‘Castillo Del Arena’ secara tak terduga dibawakan bersama Ade Paloh dari Sore. Tiga lagu penutup penampilan RNRM dibawakan secara berurutan, “Oblivion”, “Never Give Up”, dan “Palpilate”.

The Trees and The Wild (TTATW) adalah penampil berikutnya. Tampaknya hanya ingin fokus menampilkan satu set lagu tanpa henti dengan lebih banyak memainkan instrument. Lagu berjudul ‘Empati Tamako, Concetrate, Saija, dan Our Roots’ dijadikan satu set tanpa jeda. Tepuk tangan yang panjang menutup penampilan TTATW sekaligus acara Joyland Festival 2013.

Joyland festival 2013

Konser Grand KlaKustik Kla project

Malam 1000 Keberkahan Maher Zein

Acara ini dibuka oleh penampilan We Love ABC. Band yang digawangi oleh Sachi, Sisi, dan bassist White Shoes and the Couples Company, Ricky Surya Virgana, langsung menarik penonton ke depan panggung. Penampilan berikutnya adalah Dried Cassava. Group asal Jakarta ini berhasil membangkitkan semangat penonton. Penampilannya selalu berbeda

di setiap eventnya. Bagi Katon Bagaskara yang merupakan pentolan KLa Project, ini untuk kali pertama ia melakukan aransemen orkestra buat KLa Project. Ya, konser yang sangat istimewa.

Penyanyi musik religi yang berasal dari Swedia ini menggelar sebuah konser amal dengan tema ‘Malam 1000 Keberkahan Maher Zain’ bulan November lalu di Tennis Indoor Senayan. Pada konsernya kali ini, Maher Zain dibantu oleh vokalis band Padi, Fadly, untuk lebih memeriahkan konsernya.

Pemilik album debut ‘Thank You Allah’ itu disambut meriah oleh fansnya. Saat itu Maher tampil dengan memakai pakaian bernuansa hitam-putih, lengkap dengan topi pet

yang menjadi ciri khasnya. Ia pun membawakan lagu ‘Always Be There’ sebagai lagu pembuka.

Penampilan pria kelahiran Tripoli, Libanon, 16 Maret 1981 itu sangat berbeda dan spesial. Semua lagu yang dinyanyikan terasa lebih hidup. Apalagi dengan diaransemen ulang dengan konsep band live. Ditambah lagi ia membawa seorang pemain biola dari Spanyol. Ia menyanyikan 17 lagu hits-nya. Diantaranya, ‘Ya Nabi Salam Alaika, Kiya Karo, Open Your Eyes, I Love You So, dan Freedom’. Yang lebih menarik, sejak awal ia dipanggung, ia tidak berhenti untuk beristirahat. Bayangkan, ia menyanyikan 17 lagu secara nonstop dengan kualitas suara yang prima.

Aransemen unik ditampilkannya dalam lagu ‘Insya Allah’. Jelang akhir lagu ketika lirik “Insya Allah ada jalan....,” dinyanyikan berulang-ulang, band mengaransemen lagu tersebut dalam berbagai genre musik. Mulai dari versi aslinya, pop, sedikit rock, bahkan reggae.

Page 38: Kinescope Magz Edisi 5

74 75l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

TOKOH DUnia

henri bergson

Cara pikir baru Untuk Memahami Gerak

74 l Kinescope l November 2013

Nama lengkapnya Henri-Louis Bergson (Paris, 1859-1941). Ia adalah seorang filsuf Prancis yang sangat berpengaruh di awal abad 20. Namun setelah PD II pengaruhnya mulai surut. Bergson hanya sayup-sayup disebut. Pemikirannya relatif jarang dirujuk. Kendati demikian terlalu sayang—setidaknya bagi saya—untuk melupakan kontribusinya, khususnya persinggungannya dengan sinema dan/film. Sebagaimana yang diungkapkan Thorstein Botz-Bornstein: “ia adalah filsuf pertama yang memperhatikan sinema.”

75November 2013 l Kinescope l

Pada ranah disiplin sinema, amnesia atas kontribusi teoritiknya juga terjadi. “Teorisi film hari ini,” demikian tulis

Dorothea Olkowski “dengan tanpa beban melewatkan keterkaitan Bergson dan film.” Padahal tak lama setelah Lumiere bersaudara mendemonstrasikan cinematograph, di Grand Café Paris, 28 Desember 1895, Bergson telah memeram sebuah antisipasi terhadap perkembangan teori film. Kita bisa lihat itu dalam Matter and Memory (1986) dan Creative Evolution (1907).

Dalam Matter and Memory, Bergson menggariskan wacana tentang perlunya cara pikir baru untuk memahami gerak. Dari situ konsep ‘imaji-gerak’ dan ‘imaji-waktu’—yang compatible dengan sinema—ia kreasikan. Menurut Bergson imaji—atau sederhananya gambar—lebih superior ketimbang konsep, karena gambar mampu menampilkan isi pikiran secara lebih konkret. Misalnya, imaji tentang cinta relatif lebih konkret ketimbang konsep tentang cinta. Dengan kata lain, inilah yang pada dasarnya lebih mudah dilakukan sinema ketimbang pikiran. Inilah yang pada akhirnya memposisikan kemungkinan sinema sebagai ilustrator terbaik bagi pikiran. Lebih lanjut, kemungkinan inilah yang sejak kelahiran resmi sinema telah dibaca Bergson.

Namun dalam perkembangannya Bergson mematahkan sendiri tesisnya di muka. Dalam sebuah esai berjudul The Cinematographic Illusion, ia menolak menggunakan setiap kemungkinan film sebagai ilustrasi dari

pemikirannya. Esai tersebut terangkum dalam Chapter IV dari Creative Evolution (1907). Di situ ia coba membandingkan antara mekanisme pemikiran konseptual dengan mekanisme sinematografis. Secara umum, problematisasi Bergson tentang ‘ilusi sinematografis’ menurun dalam konstelasi itu.

Secara jelas, Bergson menyatakan bahwa mekanisme pikiran yang berfungsi secara ‘sinematik’ menciptakan ‘ilusi teoritis’ yang mengaburkan persepsi kita atas evolusi sebenarnya, sebuah kemenjadian radikal: kemenjadian terus menerus tanpa putus. Abstraksi tersebut merujuk pada kapasitas sinema untuk mereproduksi realitas. Juga kapasitas kamera dalam mengisolasi bagian-bagian realitas.

Menurut Bergson, sinema atau tepatnya aparatus sinema, berkorespondensi langsung dengan fungsi intelek. Sebuah kamera mengisolasi bagian-bagian realitas, menghapus nuansa tansformasi yang terjadi antara frame yang satu dan frame yang lain. Maka dari itu baginya, sinema pada dasarnya

hanya memproduksi gerak semu. Gerak semu yang identik dengan ilusi sinematografis.

Demikianlah Bergson mematahkan sendiri tesisnya. Pertama, dalam Matter asinema sebagai ilustrator pikiran. Kedua, dalam Creative Evolution, ia menyangkal bahwa ilustrasi pikiran yang berdasar pada mekanisme sinematik hanya menampilkan ilusi teoritik, karena mekanisme sinematik bekerja melalui gerak semu yang identik dengan ilusi sinematografis.

Patahan itu pada akhirnya memang butuh uraian tersendiri. Belum lagi, juga detail pemikiran Bergson yang lain, misalnya: durasi. Namun sampai sini cukup diketahui, bahwa dikemudian hari kontribusi Bergson atas sinema, diteruskan oleh filsuf prancis lain bernama Gilles Deleuze. Ia menerbitkan sepasang manuskrip berjudul: Cinema 1: The Movement-Image (1983) dan Cinema 2: The Time-Image (1985). Di situ Deleuze coba menjembatani patahan yang dibuat Bergson, sekaligus mengeksplisitkan penerapan filsafatnya pada ranah sinema.

SULUh PamUji

74 75l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 39: Kinescope Magz Edisi 5

76 77l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

TOP 10

LaLaBetween Us - Sinjitos Records

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

andien#andien - Catz Records

adrian adioetomokarat & arang - my Seeds Records/demajors

ayushitamorning Sugar - ivy League music

endah n Rhesaescape - Reiproject/demajors

white Shoes and the Couples Companymenyanyikan Lagu2 daerah - demajors

morfemhey, makan tuh Gitar! - mRfm Records/demajors

monkey to millionaireinertia - demajors

the S.i.G.i.t. detourn - ffwd Records

maliq & d’essentialsSriwedari - organic Records

POJOK KrEATiF

Pelacur dan

Jenderal Sudirman

aRtaSya SUdiRman

Di bawah bulan yang belum menjadi

purnama, sebuah mobil sedan ber-

warna hitam melaju kencang. Dengan

kecepatan lebih dari 60 km/jam, roda-

rodanya berhenti berputar secara

mendadak. Sebersit bunyi kencang

yang cukup panjang mengikir telinga.

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttt....,

kira-kira begitulah bunyi karet yang

melapisi ban mobil jika beradu dengan

aspal. Dari pintu kiri depan, seorang

wanita berbaju hitam dengan rambut

teramat kusut keluar paksa.

Tampak tas kecil berwarna senada

dengan tank top yang dikenakan-

nya menyusul dengan cara dilempar

melalui jendela yang terbuka. Lalu

kendaraan buatan Jepang itu kembali

melaju. Meninggalkan gadis dengan

rok mini berwarna merah sendiri di

tepi jalan daerah duku atas.

Sesekali perempuan berusia kisaran

dua puluh dua tahun itu mengusap

kakinya yang lecet akibat bergesekan

dengan aspal. Sambil meringis dia

mencoba berjalan dengan terpincang-

pincang hingga akhirnya tersadar,

bahwa jalanan sekitarnya tak lagi

ramai kendaraan umum. Ini jam

setengah tiga pagi, dan perempuan

itu memutuskan untuk duduk didepan

Gedung BNI kawasan Duku atas.

Dari dalam tasnya, wanita dengan

make up yang tidak lagi membuatnya

menawan mengambil sebungkus

rokok menthol. Saat akan memper-

temukan api pada batang rokok yang

pangkalnya telah tertanam didalam

bibir, sebuah suara memecah kehen-

ingan malam.“Sedang apa kamu malam-malam

disini?” suara khas lelaki tua dengan

nada berat membuat sang gadis

terbatuk-batuk karena asap rokok

yang dihirupnya seperti tersangkut

ditenggorokan. Dan saat wanita itu

menengok ke arah asal muasal suara,

diapun berteriak keras, “AAAAAAAAA

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

AAAAAAAAAAAAAAA” dan................. :

pingsan.*Hampir tiga puluh menit sepertinya

gadis bertank top hitam itu hilang

kesadaran, sampai saat dia membuka

mata. Sosok yang tadi membuatnya

berteriak masih berdiri kokoh disana.

Baru akan kembali melanjutkan aksi

teriaknya, sosok besar itu langsung

berkata, “Tenang, tenang! Ambil nafas,

saya tidak mungkin menyakitimu.”

Sang wanita mencoba menenangkan

diri sekuat hati, “Kamu setan ya?”

tanyanya sembari cuek sedikit takut.

“Apa?!?!?! Sembarangan. Memang

perempuan jaman sekarang tidak

lagi pernah membaca buku,” sahut

pria berbadan tegap dengan posisi

menghormat.“Tunggu,” wanita itu mencoba

mengingat-ingat lebih dalam. “YA!!

Aku pernah melihat kamu. Ya, ya, ya,”

jawabnya sambil mulai tersenyum.

“Ah, akhirnya. Di buku apa kamu me-

lihat gambarku?” tanya sosok dengan

tinggi 6,5 meter itu.

“Bukan dibuku.”

“Lalu?”“Difilm naga Bonar!! Aku lihat deddy

mizwar menggantung padamu dan

menyuruhmu berhenti menghormat,”

jawab si wanita girang karena berhasil

mengkorek memorinya.

“Aaah, ya ya. Pria tua yang film-film-

nya masuk FFI kan?” tanya si patung.

“Dia jurinya Pak .......”

“Jendral, panggil saya Jendral” po-

tongnya cepat.

“Iya Jendral, dia jurinya,” jawab si

gadis.“Oh, pantas. Mmmm, tunggu! kembali

ke pertanyaan awal saya. Sedang apa

kamu dikawasan ini malam-malam

perempuan muda?”

“Tadi saya diusir dari mobil pelang-

gan.”“Pelanggan? pelanggan apa?” tanya

Jendral besar itu.

“Ya pelanggan gitu deh, males bahas-

nya. Pokoknya diusir,” jawab gadis itu

dengan cuek sambil kembali menyal-

akan rokoknya.

“Gara-gara apa kamu sampai diusir

begitu?” tanya si patung itu serius.

“Kena gigi,” jawabnya santai sambil

membuang muka menatap kosong ke

jalan raya.

Sekarang Jendral besar seberat

empat ton yang berdiri sejak 2003 itu

tampak salah tingkah. “Mmmmmm,

nak....., apakah kamu....”

“Pelacur? IYA!” jawab si gadis dengan

santai sambil menghembuskan asap.

“Bukan begitu, tapi anu....”

“Apa sih pak anu-anu? Intinya saya

ini wanita yang kotornya udah ga bisa

dibersihin dengan cara mandi sejuta

ribu kali. Jadi kali ini, anda bisa menu-

runkan tangan karena saya tidak pan-

tas untuk dihormati,” kali ini suaranya

lebih terdengar pelan. Seperti ada

suatu yang mengganjal ditenggorokan.

Hidungnya mulai memerah, dari mata

yang indah itu tiba-tiba turun gerimis.

Wanita ini terus menghisap rokoknya

dengan paksa, hanya karena dia tidak

tahu lagi harus berbuat apa. Kedua

telapak tangannya dipakai untuk

menutupi wajah. Dia menunduk, tak

mampu menatap dunia yang diang-

gapnya telah memalingkan muka.

Malam itu hening, sepi, seperti hatinya

yang telah dia paksa pergi.

Menit-menit yang dia paksa diam telah

berlalu, sang gadis menoleh kearah

Seorang jendral besar milik bangsa

ini, untuk memastikan dia tidak

sendiri. “Jendral, mengapa engkau

masih saja belum berhenti menghor-

mat?” tanyanya dengan bergetar

“Aku terlahir kembali untuk menghor-

mat pada Kalian, Negara Indonesia

yang berkilau. Termasuk, engkau...”

jelas Sang Jenderal sambil tetap

menghormat kaku pada apapun yang

ada di depannya.

77l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 40: Kinescope Magz Edisi 5

78 79l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

bentuk apresiasi terhadap warisan budaya bangsa berupa film agar terus lestari dan dike-nal oleh generasi sekarang. Gudangfilm juga turut serta dalam “Pasar Seni Jakarta” yang berlangsung pada 3-5 Desember 2013 di Parkir Timur Senayan. Dengan kembali bekerjasama dengan Majalah Kinescope, Mereka membuat sebuah “Bioskop Mini” di tengah hiruk-pikuk keramaian Pasar Seni Jakarta. “Bioskop Mini” menayangkan beberapa film Indonesia yang terkenal seperti Tjoet Nja’ Dien, Rumah Dara, Mama Cake, Coboy Junior The Movie dll. Hasilnya, “Bioskop Mini” Gudang Film dan Majalah Kinescope mendapat apresiasi yang baik dari pengunjung dengan lumayan banyak pengunjung yang mampir dan terhibur dengan film-film yang disajikan.

Melalui akun twitter, @_Gudangfilm, Komu-nitas ini secara konsisten memberikan info-info mengenai film. Baik Film yang sedang tayang, akan tayang hingga film-film yang telah tayang beberapa tahun lalu namun masih menarik untuk dibahas. Tidak hanya film lokal, mereka juga menginfokan mengenai berita berita film mancanegara. Melalui akun twitternya, Gudan-gfilm juga sering menginformasikan kegiatan yang akan atau telah dilakukan. Sehingga bila ingin mengetahui mengenai kegiatan seperti Nobar, bisa dicek timeline twitter mereka. Selain Twitter, Gudangfilm memiliki blog Gu-danggfilm.blogspot.com. Dalam blog ini pen-gunjung bisa mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang akan di lakukan, report serta foto-foto kegiatan yang telah berlangsung, dan review film-film yang ditulis oleh para anggota dari Gudangfilm.

Kini anggota Gudangfilm semakin hari semakin bertambah seiring dengan kegiatan yang mereka jalani. GFers terdiri dari beragam profesi dan latar belakang seperti Mahasiswa dari berbagai jurusan seperti akuntansi, IT, Jurnalistik dan sebagainya , pelajar, karyawan, baik muda hingga tua, mereka terhimpun dalam komunitas yang memiliki jargon “Gera-kan Nonton Film di Bioskop”. Harapan mereka sederhana, dengan rasa cinta dan semangat mendukung film Indonesia, mereka ingin Film

Indonesia menjadi Primadona di negeri sendiri dan menyadarkan bahwa tidak rugi untuk menonton film Indonesia di bioskop mala-han turut serta membangun industri kreatif bernama Film dinegeri ini. Mari nonton film Indonesia di Bioskop!

KOMUNiTAS

GudangfilmCinta film lokal

“Untuk apa nonton film Indonesia? Gak berkualitas. Tiket bioskop kan mahal mending nonton film Hollywood”. Yang barusan adalah salah satu contoh

pernyataan cukup “menyakitkan” dari beberapa penonton bioskop di Indonesia dikala diajak nonton film Indonesia. Kini calon penonton ketika menghampiri

tempat penjualan tiket di Bioskop kebanyakan lebih memilih film-film “blockbuster” khas Hollywood dibanding film lokal yang saat itu juga tayang.

Film Lokal seperti diacuhkan dinegeri sendi-ri. Daripada harus menonton dibioskop, beberapa penonton pun lebih memilih

menunggu di televisi atau mendownload di In-ternet film-film Indonesia. Dampaknya, jumlah penonton Indonesia yang memperihatinkan. Jangankan untuk menembus 1 juta penonton, 100ribu-pun Film Indonesia sudah kembang-kempis untuk menembusnya. Suatu fakta yang cukup memprihatinkan terhadap kondisi penonton bioskop film Indonesia.

Atas keprihatinan akan kondisi tersebut serta diiringi rasa cinta dan keinginan men-dukung film lokal, beberapa anak muda yang berdomisili di Jakarta membentuk komunitas Gudangfim. Komunitas yang terbentuk pada 1 januari 2013 ini terbentuk akan kesadaran bahwa Film Indonesia tak berarti apa-apa tanpa penontonnya. Dengan mengusung Jar-gon “Gerakan Nonton di Bioskop”, Gudangfilm mengajak masyarakat Indonesia secara luas untuk menonton film-film Indonesia di Bioskop. Tentu dengan harapan perfilman Indonesia mampu terus “eksis” di negerinya sendiri.

Dalam Pergerakannya, Gudangfilm men-gajak orang-orang untuk menonton film Indo-nesia melalui kegiatan “Nobar” singkatan dari “Nonton Bareng” yang merupakan kegiatan inti dari komunitas ini. Kegiatan Nobar yang dilaku-kan oleh Gudangfilm bersifat terbuka sehingga bisa diikuti oleh siapapun tanpa terkecuali. Karena bisa diikuti oleh siapapun, tak sedikit GFers (sebutan bagi penonton yang mengikuti nobar bersama Gudangfilm)bisa saling kenal dengan teman-teman baru sesama penyuka film Indonesia dan tentu saja bisa bertukar pikiran sesama penonton film mengenai film yang baru saja ditonton.

Dalam kegiatan Nobar, Gudangfilm juga

mengundang Cast dan Crew film yang akan di-Nobar-kan agar penonton dapat dekat dengan sosok yang selama ini mungkin hanya bisa mereka temui di televisi atau di layar bioskop. Cast dan Crew akan “menemani” para penon-ton menikmati film yang mereka buat sehingga para pembuat film-pun dapat mengetahui re-spon langsung dari penonton filmnya dan disisi penonton mereka dapat merasakan “atmosfer” menonton dengan cast dan crew film yang mungkin saja adalah artis atau idola mereka sehingga ada rasa kesenangan tersendiri dan pengalaman lain saat menonton. Setelah menonton, penonton pun bisa melakukan sharing kepada cast dan crew film terhadap film yang baru saja ditonton. Interaksi antara pembuat dan penikmat film ini pun mungkin saja akan memperluas rasa cinta terhadap film lokal sehingga tidak akan ada lagi rasa enggan untuk menonton film Indonesia di bioskop.

Selama hampir satu tahun ini Gudang-film terus konsisten dalam mengadakan Nobar. Setidaknya ada 1 hingga 3 film yangdibuatkan Nobar tiap bulannya. Nobar pertama Gudangfilm adalah ketika mereka membuat nobar “Mika” pada tanggal 15 Januari 2013. Nobar yang cukup mendebarkan bagi mereka karena selain merupakan pengalaman pertama, pendaftaran dan pendataan dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu 3 hari. Total Gudangfilm telah membuat 15 Nobar sejak terbentuk. Beberapa film yang pernah dibuatkan nobar antara lain Belenggu, Tampan tailor, Finding Srimulat, Cinta Dalam Kardus, Coboy Junior the Movie Dan La Tahzan. Selain di Jakarta, Gudangfilm juga pernah melangsungkan Nobar di Kota lain seperti di Bandung saat

Gudangfilm melangsungkan Nobar Air Mata Terakhir Bunda.

Selain Nobar, kegiatan lain yang dilakukan Gudangfilm adalah Diskusi Film. Diskusi Film pertama yang dilakukan oleh Gudangfilm adalah Diskusi film serta Screening film karya Anggy Umbara di SAE Institute Agustus 2013. Film karya Anggy Umbara yang diputar dan menjadi bahan diskusi adalah Coboy Junior the Movie dan Mama Cake. Pada 29 Oktober 2012, Gudangfilm bersama majalah Kinescope melangsungkan nobar film klasik nan legend-aris Indonesia ‘Tjoet Nja’ Dien” (1988). Tjoet Nja’ Dien merupakan film karya sutradara Eros Djarot yang memiliki banyak prestasi diantara-nya menyandang Best International Film pada Festival Film Cannes pada tahun 1989. Nobar Tjoet Nja’ Die merupakan langkah sangat positif yang memiliki tujuan mulia sebagai

Page 41: Kinescope Magz Edisi 5

80 81l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

dESTiNATiON

hangat dan bersahabatvogels hostelVogels Hostel, itulah nama tempat sederhana di daerah Kaliurang Jogjakarta

ini. Dengan memiliki arsitektur bangunan model rumah lama khas peninggalan Belanda, kursi dan meja kayunya, sekalipun terlihat sederhana, tapi tempat ini terasa amat bersahabat. Tempat ini juga emnjadi salah satu recommended

place versi Tripadvisor bagi wisatawan asing yang hendak mengunjungi Jogja dan khususnya yang ingin melakukan pendakian ke Gunung Merapi.

oLLivia SeLaGUStaApa keunggulan tempat ini sehingga

menjadi salah satu tempat yang direkomedasikan oleh Tripadvisor

sebagai tempat untuk singgah, padahal tempat ini terlihat sangat sederhana dan cenderung terlihat kuno, dibanding dengan penginapan dan warung makan masa kini yang banyak bertebaran di sekitar lokasi wisata Kaliurang? Ternyata tempat ini memiliki suasana yang begitu hangat, harga makanan dan penginapan yang murah. Selain itu, tempat ini juga terlihat bersih dan menyediakan makanan yang enak, sehingga menjadikan tempat ini menjadi pilihan tersendiri bagi turis, khususnya yang datang dari luar negeri. Salah satu nilai plus dari tempat ini adalah pemiliknya bisa berbahasa inggris dengan baik, sehingga turis asing betah berlama-lama ditempat ini untuk bersantai.

Dari beberapa menu yang dicoba, tidak ada satupun rasanya yang gagal, seperti Nasi Pecel Made In Vogels Hostel, roti bakar, pancake, bakmi kuah ayam, Jack Tuna Steak dan ayam paniki. Begitu pula dengan minuman hangat yang tersedia, seperti wedang uwuh, yaitu salah satu minuman rempah special dari Vogels Hostel yang berisi jahe, daun cengkeh, secang, gula batu dan rempah lainnya, menjadikan minuman ini begitu terasa nikmat sekaligus menghangatkan.

Selain itu, ada juga ragam minuman lainnya tersedia di sana, seperti teh poci, susu murni, jahe susu, cappucino dan coklat panas, untuk menghangatkan badan di tengah udara gunung Merapi yang cukup dingin.

Untuk harga, tidak usah takut. Di tempat ini, semua harga yang ada, tertulis jelas di dalam menu. Sehingga para tamu yang datang ke tempat ini tidak perlu takut untuk makan atau minum dengan harga yang asal tembak. Untuk seporsi nasi pecel dan jeruk panas, anda cukup membayar Rp. 12,000 dan seporsi Jack Tuna Steak, hanya Rp. 30,000. Untuk seporsi makanan harga yang harus dibayar, berkisar antara Rp. 8000 hingga Rp.30,000 dan untuk minuman, antara Rp. 2,500 hingga Rp. 10,000 untuk minuman regular (tidak termasuk Beer).

Lokasi Vogels Hostel ini bersebrangan dengan Taman Rekreasi Kaliurang Jogjakarta, sehingga sangat mudah untuk ditemukan. Jadi, untuk anda yang ingin melakukan wisata ke daerah Kaliurang ataupun ingin melakukan pendakian ke Gunung Merapi, tempat ini memiliki paket daily trekking

tour yang direkomendasikan, hanya dengan membayar USD 15 perorang, atau sekitar Rp. 150,000 perorang. Harga tersebut sudah termasuk dua kali makan, Trekking Guide yang berpengalaman dan tiket masuk lokasi wisata Kaliurang.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat menghubungi nomor telpon 0274-895208 atau mengirim email ke [email protected] untuk berkorepondensi dengan pengelola tempat ini. Atau juga anda bisa browsing laman vogelshostel.blogspot.com untuk mendapatkan informasi lebih detil.

80 81l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

Page 42: Kinescope Magz Edisi 5

82 83l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

SENi

tato Dayak KalimantanSeni merajah tubuh atau tato adalah bagian dari kebudayaan tradisional. Di antara daerah Nusantara yang terkenal dengan seni tatonya adalah suku

Dayak di Kalimantan. Bagi budaya Dayak seni tato telah menjadi ciri khas dan identitas masyarakatnya. Berbicara tentang kebudayaan Dayak, kita tidak bisa melepaskannya dari alam, terutama hutan. Simbol-simbol yang tertera pada

seni tato erat kaitannya dengan keanekaragaman hayati yang ada di hutan belantara Borneo.

Rian Samin

Adalah Hendra pria asli Kalimantan yang memiliki spesialisasi membuat tato motif dan dengan teknik tradisional dayak. Seniman tato yang biasa beraktivitas di studio Eternity yang

terletak di bilangan Jl Gejayan Selokan Mataram Yogyakarta ini telah membuat tato sejak akhir 1997. Menurutnya perbedaan membuat tato secara modern dan manual yang mendasar adalah pada alat yang digunakan. Jika tato modern menggunakan mesin, maka tato dengan metode tradisional menggunakan stick yang dibuat dari kayu atau bambu. Pria yang dikenal dengan nama Hendra Folk ini berujar, jika dahulu membuat tato tradisional masih menggunakan tinta yang dibuat menggunakan bahan alami, maka saat ini telah disesuaikan dengan menggunakan tinta yang khusus dibuat untuk tato, dan banyak dijual dipasaran..

Menurut seniman tato kelahiran Sanggau Kapuas, Kalimantan Barat, 23 Juni ini membuat tato dengan cara tradisional memiliki sensasi yang berbeda, mulai dari rasa sakit hingga kepuasan. Di studionya, Hendra bisa memutar musik-musik tradisional Dayak sebagai pengiringnya membuat tato. “Kamu diajak untuk kembali ke masa lalu oleh suara natural dari stick kayu yang dipukul teratur, serta memakan lumayan banyak waktu daripada tato dengan mesin,” ucapnya.

Untuk lamanya waktu pembuatan tato, Hendra yang sempat men-empuh pendidikan di ISI Yogyakarta ini menjelaskan jika sebuah desain «bunga terung» dengan diameter 9 cm dapat dikerjakan satu jam den-gan menggunakan mesin, makan jika menggunakan metode tradisional dapat memakan waktu hingga 2 jam.

Hendra mengakui saat ini kebudayaan tato di Kalimantan men-galami kemajuan yang pesat, walau pergeseran nilai sudah pasti sulit dihindari. Menurutnya, anak-anak muda masih cenderung menganggap tato hanya sekedar fashion, atau bahkan lekat dengan premanisme, “padalah kita tahu bahwa suku Dayak memiliki budaya tato yang kental dan penuh makna,” tegasnya.

Page 43: Kinescope Magz Edisi 5

84 85l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

diSTribUTiONS

a. exCeLSO Cafe naTiOnwiDe Bandara Soekarno Hatta Blok M Plaza Central Park Mall Cilandak Town Square Grand Indonesia Kelapa Gading 2 & 3 Kuningan City La Codefin Plaza Indonesia Pluit Junction Puri Indah Mall Rumah Sakit Husada Senayan City Senopati Office 8 Sumareccon Mall Serpong Universitas Indonesia Urban Kitchen Emporium Mall Intiland Tower Jalan Tol Km 57 Menara Bidakar Mall of Indonesia Pantai Indah Kapuk Supermall Karawaci Kota Casablanka Sarinah Thamrin Gandaria City Pondok Indah Mall 2 Green Terrace TMII Ruko Graha Kartika Cibinong Bale kota Hero Bintaro Rodalink Serpong Grand Mertopolitan Bekasi Summarecon Mall Bekasi Bandung Supermall Istana Plaza, Bandung Myfair Building Bandung Bandara Juanda Ciputra World Surabaya East Coast Center, Surabaya Pakuwon Trade Center Plaza Surabaya Siloam Gleaneagles, Surabaya Sira 25 Gempol, Surabaya Supermall Pakuwon Indah Town Square Surabaya Tunjungan Plaza 2,3 & 4 Surabaya Plaza Marina, Surabaya Bali Galeria Bandara Ngurah Rai Paragon City Lippo Plaza Sunset, Bali Galeria Mall, Jogyakarta Malioboro Mall, Jogyakarta Solo Paragon Solo Square DP Mal, Semarang Mall Ciputra, Semarang

B. Jw LOUnge BanDara Terminal 1A, 2E & 3 Keberangkatan Domestik bandara Soekarno hatta, jakarta Terminal Kebangkatan Domestik bandara hangnadim, batam Terminal Keberangkatan Domestik bandara Sultan badarudin ii, Palembang Terminal Keberangkatan Domestik bandara Pangkal Pinang, bangka Terminal Keberangkatan Domestik bandara Sultan thaha, jambi

C. KeDai iCe Cream genTOng Sunter Kelapa Gading Summarecon Mall Serpong

D. LOKananTa Cafe & reSTO Panglima Pollim & Gandaria City

e. fx maLL area

f. D’gLam SaLOn SenaYan CiTY

g. TaLK inCOrPOraTiOn Jl. Wijaya 1 no 72 Kebayoran Baru.

H. SaPHire LOUnge D’COnSULaTe SOeKarnO HaTTa JaKarTa

i. BYBLOS Cafe STreeT gaLLerY POnDOK inDaH maLL 3

J. Dewan KeSenian JaKarTa

K. SeKreTariaT aLianSi JUrnaLiS inDOneSia

L. SeKreTariaT iKafi, iKJ

m. KOmUniTaS

Komunitas Hijau Pondok Indah Kineforum, Jakarta Nontoners Gudang Film Cinema Poetica Underdog Kick Ass #savejkt Indonesian Youth Conference Sinergi Muda.org Tripot Fotografi Kampus Jalanan, Yogyakarta

n. YOgYaKarTa Fakultas Ilmu Budaya UGM Xcode, Kampus ISI, Akindo, MMTC Indonesia Visual Art Archieve Mes56 Kineklub UII Oxen free cafe CCF Jogyakarta (Pusat Kebudayaan Prancis) Teater Garasi Padepokan Bagong Kusudiardja Bintang Cafe Soekamti Basecamp

O. BaLi Rondji Resto – Mario Blanco Tjampuhan, Ubud Arena Sport Cafe, By Pass Ngurah Rai, Sanur Moka Cafe, By Pass Ngurah Rai, Sanur Pregina Resto, Danau Tamblingan, Sanur Pergola Resto, Sanur

P. evenT arkipel, international Documentary & experimental Documentary Film Festival @goetheHaus Jakarta – Agustus 2013. Film Press Screening violet & Daisy @ BlitzMegaplex, Grand Indonesia Film Press Screening FlU – korean movie @BlitzMegaplex, Grand Indonesia Festval film makasar oktober – november Makasar Sulawesi Selatan 2013 bandung Contemporary art Festival itb bandung @7Gallery Seni Bandung media Partner Pasar Seni jakarta 3-5 november nonton bareng Film tjoet nja Dien PPHUI 29 Oktober 2013-11-17. Stand Pekan Film jogyakarta @Taman Budaya Yogyakarta Stand UkDw, Puskat Uin @Yogyakarta bioskop mini kinescope @Pasar Seni Jakarta,3-5 November 2013 nonton bareng Film adriana at XXI Planet Hollywod

Dengan ini, mohon dicatat sebagai pelanggan majalah Kinescope dengan data sebagai berikut :

Nama : ……………………………………………………………………………..

No.KTP/ SIM : ……………………………………………………………………………..

Alamat Rumah/ Kantor : ……………………………………………………………………………..

……………………………………………………………………………....................................................... ……………………………………………………………………………....................................................... Kode Pos :

Telepon : ……………………………………………………………………………..

Mobile Phone : ……………………………………………………………………………..

Email : ……………………………………………………………………………..

Berlangganan : 3 bulan 6 bulan 12 bulan

……….../……………………………./20……..

__________________________(Tanda tangan & nama lengkap)

fOrmULir BerLangganan

• BiayaRegistrasiP.JawaRp. 20.000,- • BiayaPengiriman3 bulan Rp. 35.000,- 6 bulan Rp. 65.000,- 12 bulan Rp. 100.000,-• PembayaranditransferkePT. Kinescope Indonesia CIMB Niaga Cabang Bintaro 080.010.135.5009• [email protected]• Majalahakandikirimkanpadabulanberikutsetelahbuktipembayaranditerima• UntukinformasiataupertanyaanlebihlanjutmengenaiKinescopedapat di email ke [email protected] atau klik www.kinescopeindonesia.com• Registrasiakanterputussecaraotomatissetelahhabisperiodemasaberlangganan• Untukperpanjanganmasaberlangganandapatlangsungmelakukanpembayarandanmengkonfirmasi pembayaransebelumhabisperiodeberlangganan• Selamabuktipembayaranbelumkamiterimamakaregistrasi&pengirimantidakkamiproses.• Nilairegistrasi&biayaberlangganansewaktu-waktudapatberubahtanpapemberitahuanterlebihdahulu.• HargaberlakuhanyadiP.Jawa.• BiayaRegistrasiSumatra,KalimantanRp. 25.000,-SulawesiRp.30.000,-• BiayaPengiriman3 bulan Rp. 105.000,- 6 bulan Rp. 210.000,- 12 bulan Rp. 420.000,-• UntukIndonesiatimurdapatdikonformasilangsungdiemaillangganan@kinescopeindonesia.com

Syarat & Ketentuan :

Page 44: Kinescope Magz Edisi 5

86 87l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l

film nasional & Distribusinya

Sebuah film yang diproduksi, tentunya adalah sebuah ekspresi kesenian dan juga budaya yang

melatarbelakanginya, baik latar belakang budaya dalam cerita film, maupun si pembuatnya. dan selalu, latar

belakang budaya ini menjadi pesan penting yang ingin disampaikan ke penonton yang menyaksikan film tersebut.

dan sebagai ekspresi komunikasi, tentunya film juga memiliki pesan yang ingin disampaikan dan pasti ada nilai

edukatif di dalamnya.

K86

VOiCE OVEr

haSReiza

www.kinescopeindonesia.com

more visit....

life is short, use you’re time to watch a movie

ita mahfum, bagaimana sebuah film yang memiliki nilai positif dan bisa menjadi alat edukasi itu bisa termaknai dengan baik oleh penontonnya dan bisa mempengaruhi pola budaya, itu sangat tergantung pada bagaimana film tersebut bisa ditonton oleh khalayak, sebanyak-banyaknya. Dan situasi itu sangat tergantung pula pada peran distribusi yang merata. Ya, merata, dalam arti semakin banyak wilayah yang bisa terjangkau oleh film tersebut dan diputar dalam ruang-ruang pertunjukkan sebanyak-banyaknya.

Saat ini, di mana era kejayaan distribusi film nasional sudah pernah dilewati, merupakan masa suram distribusi film nasional. Bagaimana jumlah bioskop dan ruang-ruang pertunjukkan film nasional semakin habis dan menyusut. Bagaimana sebaran bioskop dan ruang-ruang pertujukkan hanya bermotifkan hasrat komersial dan mencari keuntungan belaka. Bagaimana hal tersebut hanya terpusat di kota-kota besar saja. Ini menandakan bahwa film nasional seolah dipaksa untuk “memotong kakinya sendiri” dengan tidak tersedianya ruang-ruang pertunjukkan itu.

Bayangkan saja, sebuah bangsa dengan 240 juta penduduknya, memiliki film nasional yang dianggap “Box Office” hanya karena ditonton oleh 4 juta penonton, atau hanya 1,67% dari jumlah penduduknya. Semakin miris ketika perolehan penonton dengan jumlah sebesar itupun hanya mampu diraih oleh satu film nasional selama hampir satu dasawarsa. Korea Selatan mampu mendorong film nasionalnya ditonton hingga 10% penduduknya. Untuk kita, tak perlu muluk, cukup 5% saja, itu sudah teramat bagus dan

membahagiakan.Namun, dengan diam dan hanya menerima situasi

ini juga tidak akan memberikan perubahan apa-apa bagi film nasional. Membangun inisiatif positif dan aktifitas berkelanjutan yang hanya ada dalam pusaran dan lingkungan sendiri dan “menyendiri”, juga akan sia-sia. Sudah saatnya semua bersuara bersama, berinisiatif dan melaksanakan inisiatifnya bersama, serta beraktifitas pun bersama. Sehingga amplifikasi serta efek dari semua itu, bisa dirasakan oleh masyarakat secara umum dan bisa menjadi alat penekan bagi para pengambil kebijakan untuk segera membuat kebijakan yang berpihak pada perfilman nasional dan segera pula memberikan solusi atas situasi mati surinya distribusi film nasional.

Mengembalikan ruang-ruang pertunjukkan film ke dalam kehidupan masyarakat, dengan jumlah yang minimal mendekati jumlah pada tahun 1980-an, sekitar 4000 bioskop, dengan tidak hanya bergantung pada swasta saja, namun juga memberikan solusi yang sebijak-bijaknya agar swasta pun tidak berjalan sendiri, karena mereka tidak akan sanggup melakukan pemerataan distribusi film-film nasional ke seluruh wilayah Indonesia. Ya, 240 juta penduduk Indonesia, merupakan pasar besar bagi film nasional dan jangan diam saja, ketika film-film impor mendominasi pasar film Indonesia, hanya karena kemalasan berpikir dan keengganan bertindak. Karena bicara tentang film, itu bicara tentang budaya. Bicara tentang film nasional, itu bicara tentang budaya nasional. Dan masa depan kita, bergantung pada budaya nasional yang kuat dan.

86 l Kinescope l Desember 2013

Page 45: Kinescope Magz Edisi 5

88 l Kinescope l Desember 2013

F i l m , S e n i & E d u k a s i

free magazine - EdiSi 5 - dESEMbEr 2013Kinescope

SAgArMATHAISyArATMAKE MOnEyKILLEr TOOnSnOWPIErCErHOUrS

KLa Project

TaTTOO Dan SUBKULTUr

KaUm UrBan Sejarah indonesia

SOeKarnOreview

music

opini